Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bunuh Diri Chester dan Kerapuhan Masyarakat Barat

23 Juli 2017   06:10 Diperbarui: 23 Juli 2017   08:26 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park itu menyentak para penggemar band ini. Siapa menyangka ia akan mati semuda itu dengan cara tidak lazim: bunuh diri. Apakah ada masalah dengan dirinya? Banyak analisis yang sudah dituliskan oleh para pakar dan pengamat. Mereka mengatakan bahwa hidup Chester berada di dalam tekanan mental luar biasa. Seorang bintang diharapkan tampil sempurna di hadapan para penggemarnya. Selain itu, Chester kehilangan salah-satu sahabat terbaiknya.

Hidup sebagai bintang tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Masyarakat awam mungkin menyangka seorang bintang hidup bahagia karena dielu-elukan banyak orang. Bergelimang harta dan wanita. Namun semua itu adalah semu. Karena para bintang sebenarnya adalah seseorang manusia yang rapuh apalagi mereka yang dalam lingkungan budaya Barat. Masyarakat Barat yang sekuler dan materialistik sudah terlalu hidup dalam hedonisme yang dipuja-puja. Masyarakat Barat dalam hal ini Amerika mengalami kegersangan spiritual yang luar biasa akibat dijauhkannya agama dari kehidupan sehari-hari. Mungkin kita bisa bilang masyarakat Amerika adalah masyarakat yang relijius dan demokratis. Namun secara konstitusi, bangsa Amerika tidak menganut agama tertentu. Mereka memberi kebebasan setiap agama berkembang --termasuk Islam selama tidak mengganggu ruang publik.

Hollywood sebenarnya adalah produsen mimpi terbesar di dunia dan Amerika berusaha mengekspor budaya pop-nya untuk menguasai pikiran masyarakat dunia, terutama generasi mudanya.  Sebenarnya kalau kita lihat dari sejarah sudah terlalu banyak artis Hollywood yang tidak menemukan kebahagiaan di balik ketenarannya. Sebut saja Marilyn Monroe, bom seks Amerika itu juga mati bunuh diri karena menenggak pil tidur terlalu banyak. Belum seperti Tupac Amaru. Di Amerika, adalah lazim seorang artis mempunyai psikiater dan psikolognya sendiri. Mereka merasa lebih aman bercerita kepada psikiater dan psikolog daripada kepada keluarga dan teman-temannya. Kita memasuki era materialistik di mana kehidupan pertemanan pun dilakukan atas perhitungan untung-rugi.

Sebenarnya bangsa Amerika sekalipun sudah menyadari hal itu. Sudah banyak agamawan yang menyerukan bangsa Amerika kembali kepada agama. Pat Robertson salah-satu penginjil terkemuka di Amerika membuat semacam Disneyland Kristen, hotline doa, dan saluran televisi Kristen. Tapi Kristen menarik garis yang tegas antara agama dan negara. Secara konstitusi Amerika tetap negara sekuler. Tidak boleh doa bersama di kelas. Dan agama diusir dari ruang publik. Banyak yang menyatakan Amerika adalah negara Kristen. Dari sejarahnya, banyak pelarian dari Eropa yang membawa berbagai  macam agama sempalan Kristen ke Amerika.

Kembali kepada Chester. Musik dan kebebasan menjauhkan manusia dari Tuhan dan agama. Kehidupan para artis yang bebas, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan kecanduan narkoba sebenarnya bukan berita baru. Kehidupan para artis di Indonesia pun menunjukkan gejala yang sama. Allah SWT dalam al-Qur'an mengataka siapa pun yang melupakan Tuhan maka Tuhan pun akan menjadikannya lupa akan harkat dan martabat dirinya. Sepertinya Chester hidup terlalu jauh dari Tuhan dan agama. Masa lalunya yang kelam menyebabkan dirinya limbung, kehilangan arah, dan tertekan.

Itulah ironi kehidupan Hollywood. Dunia pop Amerika yang selalu diagung-agungkan oleh masyarakat non-Amerika yang tergila-gila pada film-film dan musiknya ternyata menyisakan masyarakat yang rapuh dan sakit. Banyak orang Amerika pun yang sebenarnya sudah menyadari hal ini. Apalagi keberadaan Hollywood tidak lepas dari kebijakan politik Washington  dan Pentagon yang berupaya menampilkan citra perkasa Amerika di mata dunia.

Kembali ke agama?

Mungkin agak aneh kita membicarakan agama di era millenial ini. Agama adalah domain para ustad dan ulama. Di era ke-21 ini, agama dituding sebagai biang konflik dan kekerasan. Dan hampir semua menunjuk kepada sejarah agama-agama di mana terjadi konflik. Tapi banyak orang yang tidak tahu bahwa orang yang beragama lebih sehat secara mental dibanding mereka yang tidak beragamaa.

Mengatakan agama-agama sebagai sumber konflik dan kekerasan bukan sesuatu yang tepat. Setiap agama mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri. Namun agama sesungguhnya mengajarkan kebaikan dan cinta kasih. Konflik antar umat beragama lebih bernuansa politis dan ekonomis dibandingkan teologis. Sesungguhnya agama merupakan jalan untuk mengenal Tuhan sebagai pemberi kebahagiaan yang sejati. Agama sesungguhnya merupakan panduan moral untuk hidup baik di dunia.

Moral dalam filsafat  Barat yang agnostik (percaya Tuhan tapi tidak percaya agama) sudah dijauhkan dari dari agama. Ukuran moral Barat adalah akal manusia, bukan wahyu Tuhan. Dan sayangnya, kini bangsa-bangsa dunia ketiga justru meniru Barat.  Mereka menganggap Barat sebagai peradaban yang unggul dan tak mungkin mati. Padahal Barat berada dalam krisis spiritual yang akut. Peradaban Barat sudah hampir dapat dipastikan tidak akan berjaya lagi dalam beberapa dekade ke depan. Generasi muda Barat lebih suka melakukan seks bebas daripada menikah dan berkeluarga. Mereka merasa lebih nyaman hidup tanpa ikatan. Masyarakat Barat tidak lagi percaya pada lembaga keluarga. Ditambah lagi, masyarakat Barat mengalami krisis demografi yang mengkhawatirkan di mana jumlah penduduk lanjut usia lebih besar daripada jumlah penduduk yang produktif.

Banyak orang Barat yang lebih suka mempelajari dan mempraktekkan spiritualitas daripada beragama formal. Mereka menganggap agama sebagai penyebab konflik dan kekerasan. Mereka tidak mau terikat secara formal pada agama-agama tertentu. Namun pemilihan terhadap spiritualitas sebenarnya sesuatu yang kurang lengkap. Mereka kurang memahami sebuah agama seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun