Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Darurat Moral

14 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 14 Oktober 2019   17:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perdebatan antara Arteria Dahlan dan Emil Salim dalam acara Mata Najwa baru-baru ini sungguh memprihatinkan. Adab berdebat dengan santun dan argumentatif seakan tidak dipedulikan lagi. Dalam tayangan tersebut, Arteria berbicara dengan keras sambil menunjuk-nunjuk Emil Salim. Ia  tidak memperdulikan lagi sopan-santun kepada orang yang lebih tua. Apalagi Emil Salim adalah tokoh bangsa yang sangat dihormati dan disegani.

"Drama" tersebut menyadarkan kita ada yang terlupa dalam mewariskan  akhlak yang baik kepada masyarakat kita. Dan hal ini bukan hanya tugas para pendidik, melainkan tugas kita semua. Masyarakat sipil berkepentingan dan berhak untuk mengawasi dan menindak anggota DPR yang perilakunya melewati batas kewajaran.

Para politisi Indonesia telah lama mendapat kritik karena tindak-tanduk mereka. Bukan karena prestasi dan kinerjanya tetapi juga karena perilaku mereka. Kita pernah melihat politisi Indonesia pernah ribut di podium di era Marzuki Alie sebagai ketua DPR. Rumor mengenai kelakuan anggota DPR sering kita dengar. Dari masalah korupsi sampai masalah pribadi. Politisi merupakan makhluk yang paling sering kita dengar beritanya selain para selebritis.

Namun bukankah perilaku politisi tersebut merupakan cerminan akhlak bangsa. Sebenarnya masyarakat sudah menyadari kemorosotan moral bangsa Indonesia. Generasi muda seolah tenggelam dalam lautan budaya populer. Mereka tidak lagi mengenal unggah-ungguh atau etika dalam kehidupan masyarakat.  Sistem pendidikan kita menghasilkan generasi yang cerdas namun tuna adab.

Kemorosotan moral tersebut menyebabkan banyak orang tua mengirim anaknya ke pesantren. Namun pesantren sendiri pun tidak mampu berbuat banyak ketika santri tersebut terjun ke masyarakat. Lingkungan yang buruk telah mendidik sebagian generasi muda  kita sedemikian rupa sehingga banyak generasi muda terlibat narkoba, miras, dan pergaulan bebas.

Kemorosotan moral ini sebenarnya bukan isu baru. Sejak tahun 1970-an, hal ini sudah mengemuka. Waktu arus budaya pop Barat dengan deras membanjiri Indonesia. Generasi '45 yang pada waktu itu masih hidup mengingatkan generasi muda dengan nilai-nilai kejuangan '45. Isu ini terus bergema di negeri ini. Teknologi hiburan seperti video decorder, tape recorder, videogames, dan radio telah meracuni generasi muda sehingga mereka tidak mementingkan lagi masalah akhlak.

Banyak hal yang diusulkan untuk membenahi masalah ini. Beberapa kalangan mengusulkan agar pendidikan budi pekerti dimasukkan kembali ke dalam kurikulum pendidikan kita. Pihak yang lain meminta hukum yang tegas terhadap generasi muda. Sebagian berpendapat sebaiknya kurikulum pendidikan agama waktunya ditambah. Namun banyak hal yang belum dapat direalisasikan.

Masyarakat kita sudah berubah. Masyarakat kita kini telah tuna adab. Masyarakat yang tidak lagi mempermasalahkan moral dan akhlak yang baik. Masyarakat Indonesia mengukur segala sesuatu dari materi. Rakyat tidak lagi mempermasalahkan kekayaan anggota DPR walaupun mereka korup.

Dalam pemilu, tidak dapat dipungkiri ada calon-calon anggota legislatif yang membagi-bagi uang kepada calon pemilih. Politik uang menjadi sesuatu yang lumrah walaupun dinyatakan terlarang oleh KPU.

Indonesia darurat moral. Moral tidak dijadikan ukuran untuk menilai seseorang. Moral telah dikesampingkan. Moralitas seakan tidak berarti di tengah masyarakat yang materialistis dan korup ini. Masyarakat masih menolerir korupsi dan manipulasi. Moral telah menjadi kata-kata bermakna kosong di atas kertas. Moral selalu didiskusikan dan dibicarakan tetapi tidak menjadi kenyataan. Perilaku elit bangsa merupakan cerminan masyarakatnya. Masyarakat yang korup melahirkan para pemimpin yang korup pula.

Untuk meneladani masalah ini diperlukan keteladanan dari elit-elit bangsa ini. Jika kita terus memilih para pemimpin yang kurang beradab menyebabkan sistem politik dan ekonomi dipenuhi oleh para politisi buruk. Itulah sisi negatif dari demokrasi. Demoktrasi menghasilkan pemimpin yang populer bukan yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun