Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kesenjangan Komunikasi dalam Politik Kita

15 Februari 2019   10:05 Diperbarui: 15 Februari 2019   10:31 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi politik yang karut-marut ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam faktor yang melingkupinya. Riuh-rendah suara-suara tokoh, pakar, politisi, dan pejabat terdengar di media massa. Media massa menjadikannya sebagai tontonan yang menghibur. Dengan dalih demokratisasi, maka siapa saja boleh saja bicara di depan publik atau media.

Media sosial (medsos) telah menjadi saluran komunikasi di era demokratisasi. Di medsos, terjadi perdebatan, saling tuding, dan saling tuduh dengan bahasa yang kadang tidak mengenakkan. Demokrasi kita menjadi ramai dengan beragam celoteh, komentar, hoaks, dan opini.

Hal ini sebenarnya menandakan ada yang tidak beres dalam saluran komunikasi politik. Kekacauan dalam komunikasi politik ini disebabkan oleh penggunaan bahasa semu (meta-language) di antara berbagai anggota masyarakat. Memang di era demokratisasi ini, ada kebebasan berbicara. Masyarakat bebas bicara apa saja asalkan memenuhi fatsoen politik. Namun kita mengetahui, kebebasan yang keblabasan ini menimbulkan suasana berbangsa dan bernegara yang ribut.

Menurut Prof. Dr. Tuty Heraty Nurhadi dari Universitas Indonesia, komunikasi antar golongan kita tersekat akibat penggunaan bahasa semu (meta-language). Karena komunikasi tersekat, timbullah budaya kekerasan. Penggunaan bahasa antargolongan jelas tidak sama. Bahasa pertama hanya dapat dimengerti oleh mahasiswa, LSM, dan intelektual. Bahasa kedua oleh para birokrat saja. Sedangkan bahasa ketiga digunakan antargolongan rakyat atau kelompok masyarakat umum. 

Saat ini memang para politisi berusaha menjelaskan visi dan misi mereka kepada publik. Namun tetap saja kurang dipahami oleh masyarakat kelas bawah. Tapi bahasa politisi terlampau tinggi untuk dipahami oleh masyarakat awam. Kalau boleh saya berpendapat, pada akhirnya rakyat bawah dibujuk rayu dengan sejumlah uang. Hal ini menyuburkan praktik politik uang dalam setiap pilkada, pileg, dan pilpres.

Sudah kita mafhumi bahwa komunikasi yang dilancarkan para elit tidak bisa dengan mudah dicerna oleh masyarakat Indonesia, kecuali mereka yang berpendidikan. Para politisi hanya mampu beretorika namun tidak mampu menyampaikan gagasan mereka kepada masyarakat bawah dengan gamblang. Sementara itu, sesama politisi asyik berpolemik di media. Media menjadi tempat adu mulut, bukan pertarungan gagasan.

Media massa, terutama stasiun televisi, telah menjadikan konflik politik antar elit sebegai tontonan yang menarik. Media massa dengan cerdas memanfaatkan momentum konflik antar elit menjadi drama politik yang penuh sensasi. Demokrasi kita saat ini adalah demokrasi yang semu. Demokrasi yang dikendalikan oleh para elit. Rakyat hanya menjadi penonton saja.

Kembali kepada masalah bahasa. Bahasa kaum intelektual jelas akan berbeda dengan masyarakat awam. Jelaslah, salah-satu problem demokrasi Indonesia adalah kesenjangan komunikasi antar pelbagai anggota masyarakat.

Kaum intelektual seperti berada di atas awan, sedangkan masyarakat awam tidak dapat memahami kesenjangan komunikasi itu. Kaum intelektual cenderung berbicara dalam bahasa abstrak dan konseptual yang sulit dipahami masyarakat bawah.

Kita harus menyadari bahwa sebagian besar rakyat Indonesia berpendidikan rendah. Mereka tidak bisa dipaksa untuk memahami retorika para politisi, birokrat, dan kaum intelektual. Sebenarnya media massa memegang peranan penting untuk menjelaskan bahasa kaum intelektual tersebut kepada masyarakat yang lebih luas. Media dapat menjalankan fungsi edukasinya kepada masyarakat. Di era digital ini, informasi dapat diperoleh dengan mudah dari berbagai sumber. Oleh karena itu dibutuhkan literasi media dan literasi digital. Masyarakat harus melek informasi dan mampu menyaringnya.

Saluran komunikasi dari bawah ke atas juga belum mampu dipahami oleh para elit politik. Rakyat selama hanya dieksploitasi demi kepentingan politik tertentu. Komunikasi politik di antara kita tidak macet, tapi sudah melimpah ruah. Meluber ke mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun