Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik

SD Inpres dan Gerakan Mahasiswa

7 Juni 2018   01:38 Diperbarui: 7 Juni 2018   01:55 3463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SD Inpres merupakan salah-satu kebijakan unggulan rezim Orde Baru. Presiden Soeharto menginstruksikan dibangunnya sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dana dari APBN pun kemudian digelontorkan untuk program ini. Dengan program SD Inpres jutaan kanak-kanak di seluruh Indonesia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan dasar dengan biaya murah. Pemerintah Orde Baru melakukan kebijakan pemerataan pendidikan ke seluruh negeri.

Namun, tahukah Anda siapa sebenarnya pencetus kebijakan SD Inpres itu? Menurut almarhum cendekiawan Sjahrir, program SD Inpres merupakan kebijakan yang sangat politis. Almarhum Syahrir dalam disertasinya di Universitas Harvard yang kemudian menjadi buku, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif, menyatakan bahwa daya dorong kemunculan program SD Inpres berasal dari desakan politik yang kuat, terutama dari kaum muda, mahasiswa, dan cerdik pandai sepanjang tahun 1973.

Isu pendidikan adalah isu yang senantiasa politis. Sejak dari rezim Orde Lama, isu pendidikan selalu menjadi isu politik. Presiden Soekarno pada 1960-an mencanangkan bahwa Indonesia telah bebas dari buta huruf. Namun survei yang dilakukan pemerintah Orde Baru menyatakan lain. Pada tahun 1980-an tingkat melek baru mencapai 72 % untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas dan 68 persen untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Menjelang akhir Pelita I,  pada tahun 1973 gerakan mahasiswa menentang apa yang mereka lihat sebagai ketidakadilan dan dominasi asing. Demonstrasi ini dimulai sejak kedatangan  Menteri J.P Pronk dari Belanda selaku ketua ex-officio Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), suatu kelompok negara yang mengkoordinasikan pinjaman untuk pemerintah Indonesia, dan berakhir pada saat kunjungan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang pada Januari 1974. Demonstrasi tersebut telah memberikan desakan kuat untuk keadilan dalam program pembangunan. Syahrir menulis, dengan desakan kuat dan sejarah pendidikan sebagai isu politis telah membuat para pejabat di Bappenas sampai pada suatu kesimpulan bahwa sesuatu yang lebih dari "urusan rutin" harus dilakukan pada pendidikan.

Boom minyak 1972/73 meningkatkan penghasilan devisa luar biasa kepada pemerintah Indonesia yang memberi dana yang cukup besar untuk program SD Inpres. Sebelumnya ada SD Inpres, pendidikan di daerah diurus oleh pemerintah daerah setempat. Kebijakan SD Inpres ini bertahan selama beberapa dekade. Berkat keberhasilan program ini, Presiden Soeharto memperoleh penghargaan Avicenna Award dari UNESCO pada tahun 1993.  

Gerakan Mahasiswa dalam Pembangunan

Program SD Inpres tidak bisa dilepaskan diri dari gerakan mahasiswa. Kelompok-kelompok mahasiswa pada dekade 1970-an sering kali membahas ketikadilan pembangunan. Mereka membuat kelompok-kelompok diskusi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Gerakan mahasiswa menjadi elemen bangsa yang kritis terhadap proses pembangunan. Arif Budiman dan kawan-kawan pada waktu itu mengkritik pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dinilai sebagai pemborosan. Akibatnya, mereka ditangkap.

Puncak dari perlawanan mahasiswa pada dekade 1970-an adalah perirstiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974. Peristiwa itu mencoreng kening  Presiden Soeharto karena bertepatan dengan kedatangan PM Tanaka dari Jepang. Sejak itu pemerintah dengan ketat mengawasi gerakan mahasiswa bahkan berusaha mengebirinya.

Tokoh-tokoh gerakan mahasiswa ditangkapi dan diadili. Tokoh-tokoh mahasiswa seperti Hariman Siregar, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Syahrir, dan beberapa lainnya dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru dengan alasan menyulut kerusuhan pada Malari. Namun apa yang mereka perjuangkan mendapat perhatian dari penguasa. Ini artinya sesungguhnya perjuangan gerakan mahasiswa tidak sia-sia.

Dalam sebuah wawancara di televisi mengenai gerakan mahasiswa era 1970-an, Syahrir mengatakan bahwa perjuangan gerakan mahasiswa berhasil memberi input kepada pemerintah Orde Baru mengenai masalah-masalah pembangunan. Kritik-kritik mahasiswa kepada rezim Orde Baru sesungguhnya diperhatikan pemerintah. Selain masalah SD Inpres, aspirasi mahasiswa mengenai lingkungan hidup pun diperhatikan pemerintah. Menurut Syahrir, itulah harga yang harus dibayar oleh perjuangan gerakan mahasiswa.

Namun rezim Orde Baru berusaha untuk terus mengekang gerakan mahasiswa melalui SK.0457 mengenai pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Bahkan gerakan mahasiswa pun dikooptasi. Rezim Orde Baru amat takut gerakan mahasiswa akan bangkit kembali mengingat peristiwa Malari. Apa yang ditakutkan oleh rezim Orde Baru terbukti, dua puluh empat tahun kemudian gerakan mahasiswa kembali menumbangkan rezim Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun