Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggapai Kebahagiaan

16 Februari 2016   14:09 Diperbarui: 16 Februari 2016   14:14 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang mencoba mencari kebahagiaan di dunia. Mereka mengasumsikannya dengan sesuatu di luar diri mereka. Mereka tidak mencoba mencarinya di dalam diri mereka sendiri. Kebahagiaan sebenarnya acap kali dianggap sebagai sesuatu yang mewah. Banyak orang berpikir mereka akan bahagia jika mereka mencapai sesuatu, memiliki sesuatu, mempunyai banyak uang, atau bisa melakukan hal-hal yang luar biasa. Mereka terpukau dengan tayangan televisi yang menayangkan kebahagiaan identik dengan ketampanan, kecantikan, kecerdasan, dan sebagainya.

Semua itu tidak salah. Tapi kebahagiaan tidak sama dengan kesenangan. Kebahagiaan juga tidak identik dengan kekayaan, walaupun itu perlu. Kebahagiaan itu lebih mirip dengan sesuatu yang kita miliki, kualitas hidup kita. Martin Seligman, seorang psikolog Amerika menulis, bahwa kebahagiaan adalah kualitas hidup kita. Ia seorang pakar psikologi positif (positive psychology) yang berpendapat bahwa kebahagiaan bisa dianalisis ke dalam tiga unsur berbeda: emosi positif, keterlibatan, dan makna.

Emosi positif berkaitan dengan nilai-nilai yang anggap baik dalam hidup ini. Emosi positif, dalam pandangan Seligman, adalah kesenangan, keriangan, suka cita, kehangatan, kenyamaan, dalam lain sebagainya. Sedangkan keterlibatan adalah bagaimana merasa terlibat dalam sebuah aktivitas atau mengalir, di mana anda bisa kehilangan diri anda, dalam sebuah aktivitas yang mengasyikkan. Yang terakhir adalah makna (meaning) bagaimana anda merasakan sesuatu yang penting dalam setiap aktivitas yang anda lakukan. Hidup bermakna adalah hidup di mana Anda melayani sesuatu yang lebih besar dari Anda. Seorang filsuf Islam, Ibnu Miskawaih, berpendapat bahwa kebaikan itu didapat dengan bergaul dengan orang lain atau masyarakat banyak, bukan menyendiri di tempat sepi.

Nabi Muhammad saw juga tidak menganjurkan untuk menyendiri (uzlah) seperti yang dilakukan oleh para sufi, kecuali untuk perenungan diri. Jihad (perjuangan) seseorang untuk memperbaiki nasibnya dan nasib keluarganya lebih besar dari sekedar untuk menyendiri dari kehidupan manusia.

Betapa banyak orang yang menderita secara mental di dunia ini. Tak peduli, apakah seorang eksekutif perusahaan besar maupun seorang buruh. Semuanya di mulai dari kehilangan makna dalam menjalani kehidupan. Makna adalah jika mendapat sesuatu yang berarti dalam hidup Anda. Contohnya ketika Anda menulis, tulisan Anda diapresiasi para pembaca. Mereka membaca tulisan Anda di media (seperti di kompasiana misalnya), mereka lalu menapresiasi. Ada yang memuji, berkomentar positif, atau mengkritik dengan sopan. Anda menjadi sangat bahagia. Ini artinya Anda memperoleh makna. Ini artinya Anda ada di dunia ini. Tulisan Anda menjadi penanda bahwa eksistensi dan karya Anda memberikan sesuatu yang positif di mata orang lain. Anda menjadi unik karena karya-karya Anda. Anda memperoleh arti, walaupun Anda tidak dibayar.

Kita perlu memahami nilai-nilai kehidupan di dunia ini. Hidup ini harus memberi arti bagi Anda. Jika tidak, Anda akan hidup ogah-ogahan. Mereka tidak berarti dan tidak bermakna. Ini artinya Anda perlu mencapai sesuatu prestasi yang positif. Anda perlu teman yang dapat Anda sandarkan demi kehidupan yang Anda jalani. Tanpa sebuah pencapaian yang positif, teman yang positif, emosi positif, dan kebermaknaan yang positif, hidup Anda menjadi kurang berdaya. Hidup bermakna adalah kebahagiaan sejati.

Agar hidup Anda bermakna, Anda perlu beribadah kepada Sang Pemberi Makna, yakni Tuhan yang Maha Kuasa. Almarhum Prof. Dr. A. Mukti Ali, mantan menteri agama pada zaman Orde Baru, pernah berkata, “Dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan harta hidup menjadi sejahtera, dengan seni hidup menjadi indah, dan dengan agama hidup menjadi bermakna.” Ilmu pengetahuan, kekayaan, seni menjadi lebih bermakna kita kaitakan dengan agama. Tentu bukan agama dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertian luas. Agama merupakan jalan menuju Tuhan. Agama merupakan sebuah sistem kehidupan.

Untuk hidup kita membutuhkan uang. Namun uang bukan pemberi makna, uang bukan tanda manusia hidup di dunia ini. Uang hanyalah sarana. Uang bukan penanda. Kita butuh uang untuk hidup. Kekayaan bagi seseorang mungkin sesuatu yang penting. Tapi banyak hal yang tidak bisa diukur dengan uang. Prestasi positif tidak selalu dikaitkan dengan uang. Kebahagiaan pada satu sisi mungkin saja dikaitkan dengan uang banyak, tapi tidak selalu. Ada kebahagiaan yang tidak tergantikan oleh uang. Cinta ibu kepada anaknya tidak dapat digantikan dengan uang. Kasih sayang tidak selalu berarti “kasih uang” walaupun uang pun perlu. Uang di tangan orang bijak lebih berarti daripada uang di tangan seorang pemboros.

Kita perlu hidup mulia. Namun kemuliaan juga tidak melulu dikaitkan dengan uang. Kemuliaan dikaitkan dengan aspek sikap, sifat, dan karakter dalam menjalani hidup ini. Dalam bahasa agama, kemuliaan seseorang dinilai dari akhlaknya (karakter). Bagaimana ia menjalani hidup ini, bagaimana seorang manusia berhubungan dengan manusia yang lain, bagaimana ia menghabiskan uangnya dan untuk apa, bagaimana ia menggunakan ilmunya, dan sebagainya.

Hidup mulai bukan berarti hidup kaya. Berapa banyak orang kaya yang tidak hidup mulia, seperti para koruptor misalnya. Agar hidup mulia, harta kekayaan seseorang harus berfungsi sosial, seperti untuk membangun rumah ibadah atau menyumbang untuk sarana pendidikan, dan sebagainya. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Untuk apa ilmu itu dia pergunakan? Apakah untuk kesejahteraan umat manusia ataukah sekedar untuk mencari makan demi dirinya sendiri?

Agama mengajarkan baik harta, ilmu, serta umur harus berfungsi sosial. Dengan kata lain harus bermanfaat untuk sesama. Nabi Muhammad Saw mengatakan sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Begitu juga dengan para Nabi yang lain. Setiap manusia tidak diciptakan dengan sia-sia. Setiap individu mempunyai panggilan jiwanya masing-masing. Di Al-Qur’an disebutkan bahwa setiap manusia akan dihisab (dihitung) sendiri-sendiri pada hari Kiamat nanti. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang telah dilakukannya di dunia ini. Setiap orang baik orang kaya maupun orang miskin. Agama menjadi sistem makna kehidupan manusia di muka bumi. Wallahu a’la bisshowab.

Depok, 16 Februari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun