Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekuasaan itu Amanat, Bukan Anugerah

23 Agustus 2015   23:57 Diperbarui: 23 Agustus 2015   23:57 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lazim di negeri kita ini, jika seseorang mendapat jabatan tertentu maka sejumlah seremoni pun dilakukan untuk menyambut “anugerah” yang agung. Tak jarang, pejabat baru itu pun melakukan sujud syukur, syukuran, atau pesta perayaan. Kekuasaan atau jabatan publik dinilai sebagai sebuah anugerah, bukan amanat.

Di negeri kita, Indonesia, masyarakat cenderung menilai kemuliaan seseorang dari status dan pangkatnya. Orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin, tak peduli kontribusi apa yang telah diberikan orang miskin kepada masyarakatnya. Orang kaya dihormati layaknya raja dan masyarakat pun berharap orang kaya itu pun bersedia memberikan sedikit hartanya kepada masyarakat yang kebanyakan miskin iman, miskin ilmu, dan –tentu saja miskin mental.

Fenomena ini adalah sesuatu yang jamak di negeri kita. Masyarakat Indonesia saat ini cenderung materialistik atau menilai sesuatu atau seseorang dari materi yang dimilikinya. Profesi guru, pemulung, polisi, ustadz, ulama, petugas kebersihan akan dianggap rendah dan tak memiliki arti kecuali yang bersangkutan mempunyai harta yang banyak. Walapun profesi itu banyak berkontribusi kepada kebaikan masyarakat.

Tak heran, ustadz dan ulama yang kaya lebih dihormati dari profesi sejenis yang miskin harta (baca: duit). Tak peduli apakah ustadz dan ulama itu lebih mendalam ilmunya atau telah berkontribusi positif bagi kemajuan masyarakat.

Itulah ironi masyarakat konsumer. Masyarakat kita adalah pengkonsumsi segala macam simbol dan status. Televisi telah menjadi “tuhan” yang menentukan kemuliaan seseorang di balik make up dan gincu sang perias wajah seorang ustadz atau ulama di balik layar. Televisi telah menjadi permainan simbolik yang penuh rekayasa tanpa kedalaman.

Di tengah kompetisi politik di era demokrasi liberal saat ini, banyak orang berlomba untuk meraih jabatan-jabatan publik dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Bahkan pemilihan ketua RT dan RW kini pun dilakukan melalui pemungutan suara. Apalagi untuk jabatan seperti kepala desa, walikota dan wakilnya, gubernur, anggota DPR/DPRD, menteri, ketua MPR dan DPR, sampai presiden dan wakil presiden. Banyak orang berlomba merebut kekuasaan. Namun tujuan bukan untuk mengabdi kepada Tuhan dan masyarakat, melainkan demi prestise dan kekayaan pribadi.

Pangkat dan Kekayaan dalam Perspektif Islam

Kebanyakan kita silau dengan jabatan atau pangkat atau kekayaan seseorang. Padahal Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang –sudah tentu- jarang dikutip para dai karena terlalu radikal mengatakan, “Barang siapa yang berdiri untuk menghormati orang karena kekayaannya, maka hilanglah sepertiga agamanya.”

Ini berarti jangan menggadaikan agama dengan kekayaan. Jangan mengukur seseorang dari kekayaan tetapi dari agama dan amal shalehnya. Tidak cuku hanya shaleh pribadi tetapi juga shaleh sosial. Rasulullah adalah teladan bagaiman menjadi saleh di hadapan Tuhan (habl min Allah) dan berakhlak mulia di tengah-tengah masyarakat (habl min an-nas).

Begitu juga dengan jabatan. Dalam perspektif Islam, pangkat atau jabatan adalah amanat, bukan anugerah. Sekian banyak cerita dalam khazanah Islam, betapa pangkat dan jabatan dapat menghinakan seseorang jika ia tak dapat memikulnya. Bahkan dalam banyak hadis disebutkan, orang yang tak dapat menjalankan amanat yang menyangkut orang banyak dengan baik akan diazab oleh Tuhan pada hari Kiamat nanti. Ia harus mempertanggungjawabkan jabatan yang dipikulnya kepada Tuhan di hari pengadilan nanti.

Selain itu, Nabi saw bersabda kiamat atau kehancuran akan tiba jika sebuah amanat tidak diserahkan kepada ahlinya. Pengertian ahli di sini adalah orang yang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk menjalankan kekuasaan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun