Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya Beragama dengan Cinta

21 Juli 2015   15:29 Diperbarui: 21 Juli 2015   15:32 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kericuhan yang terjadi di antara saudara-saudara kita di Tolikara baru-baru ini pada membuktikan bahwa pemahaman kita akan agama lebih didasari oleh dogmatisme daripada cinta. Padahal cinta lebih kuat dari agama. Ideologi apa pun yang ada di dunia ini tidak akan mampu mengalahkan cinta.

Keberadaan cinta lebih dahulu ada dari keberadaan peradaban. Karena cinta, seorang anak mampu menjadi pribadi yang utuh. Cinta ayah dan ibu adalah refleksi cinta Tuhan. Ibu merefleksikan sifat kerahiman Tuhan. Cinta adalah sebuah kekuatan yang dahsyat. Ia memberi makna. Banyak orang berani berkorban karena cinta. Cinta menjadi energi yang memberi daya bagi setiap kehidupan ini. Kehidupan di alam semesta ini terjadi karena cinta.

Karena cinta, semua relasi di alam berlangsung dalam sebuah mozaik yang indah. Tak heran, Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari abad pertengahan mengatakan cinta adalah esensi ketuhanan. Manusia diciptakan karena cinta dan oleh Tuhan yang Maha Mencintai. Maka agama yang baik adalah agama yang mengajarkan cinta kepada Tuhan sebagai sang pemberi kehidupan dan makna, kepada sesama manusia dan seluruh makhluk di alam raya dalam sebuah jaringan yang saling menghidupi. Agama yang paling baik adalah yang mengajarkan kasih dan kebaikan bagi seluruh organisme di dalam ekosistem.

Sayangnya, kita hidup di masa di mana syak wasangka dan kebencian meraja rela. Kita tak pernah berpikir positif terhadap orang lain. Kita tak pernah memberi kebaikan kepada orang lain. Relasi sosial yang terjadi di antara kita hanyalah berupa hubungan mekanistik saja. Nyaris tanpa jiwa. Tanpa kehangatan  dan kebermaknaan.

Itualah realitas hubungan keberagamaan di negeri kita ini. Di kalangan elit-elit agama, bisa jadi terjadi kerukunan dan saling pengertian, namun bagi kalangan awam, agama bisa menjadi bara panas. Adanya bara dalam sekam membuktikan bahwa kebanyakan orang awam belum bisa memahami sisi terdalam agamanya. Tingkat keilmuan yang rendah membuktikan orang bisa menjadi radikal sehingga jauh dari kehangatan cinta yang dijanjikan Tuhan yang kepada orang-orang yang saling mengasihi. Di negeri kita, agama baru sekedar ritual, bukan etika spiritual. Atau belum menjadi akhlak.

Sudah saatnya kita beragama dengan cinta, bukan dengan dogmatisme dan kekerasan. Untuk itu kita perlu berefleksi ke dalam diri dan menemukan suara hati nurani kita. Hati yang bersih selalu disinari cahaya Tuhan dengan dilampiri iman kepada-Nya. Pemahaman kita terhadap makna “kafir” harus di ubah. “Kafir” bukan berarti orang yang beragama lain atau tidak beragama. Kata "kafir" berasal dari kata kerja "kafara" yang artinya menutup. Orang kafir adalah orang yang hatinya tertutup dari cahaya cinta Tuhan. Manusia yang normal sebenarnya mampu menangkap isyarat-isyarat ketuhanan yang bertebaran di sekelilingnya. Namun sayang kebanyakan manusia mengotori dirinya dengan kebencian dan nafsu rendahan. Orang yang demikian akan menjadi buas dan ganas hingga akhirnya berbuat kerusakan di muka bumi.

Tujuan manusia dihadirkan Tuhan di muka bumi adalah untuk membangun kemanusiaan, bukan kerusakan dan kehancuran. Dalam Al-Qur’an disebutkan, jika tidak karena Tuhan menahan keganasan manusia terhadap manusia yang lain, maka akan rusaklah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan. Tuhan menahan kezaliman manusia terhadap manusia yang lain dengan menitipkan cinta di hati-hati manusia. Ketika cinta sudah dicabut dari hati seorang hamba, ia lebih ganas dari binatang buas.

Sudah masanya kita berefleksi mengapa kekerasan antar agama terus berlanjut. Apakah kita hanya beragama tapi tidak ber-Tuhan? Kita menjalankan agama secara simbolistis dan ritualistis, tanpa memahami esensinya. Apakah Tuhan sudah meninggalkan negeri zamrud khatulistiwa ini?  Saya kira belum. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, kitalah yang meninggalkan Tuhan. Kita tidak berkasih dan bercinta di antara kita.

Elit-elit politik dan ekonomi terus berkonflik dan memperebutkan kekayaan. Mereka seakan tidak memahami rakyat. Rakyat hanya alat untuk menang pemilu atau sekedar pekerja di pabrik-pabrik. Maraknya kekerasan akhir-akhir ini, menurut hemat saya, salah-satunya disebabkan oleh retorika para elit politik.  Persis seperti pada masa Orba. Mereka selalu menyanjung pluralisme. Namun sebenarnya keadaan di lapangan sering kali berbeda. Sudah saatnya elit politik berhenti beretorika dan bekerja konkrit untuk kemaslahatan bersama.

Depok, 21 Juli 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun