Mohon tunggu...
Hantu Nasionalis
Hantu Nasionalis Mohon Tunggu... Administrasi - Hobby Nulis aje

merah darahmu sama dengan merah darahku....Satu merah putih.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Membenarkan yang Biasa atau Membiasakan yang Benar (?)

21 September 2012   06:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:05 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13482230321936977517

[caption id="attachment_213677" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Kemarin pulang kerja jam 17.55 dari jam pulang yang harusnya 17.00. Rutinitas yang mengasikkan dan membuat ketagihan (apalagi kalau sudah terima gaji :-D) Pulang selalu bareng sama teman satu kontrakkan yang nama panggilannya Ucup (bukan nama sebenarnya), sama-sama naik kendaraan roda dua dengan mesin maticnya. Dan seperti biasa pula, kami selalu menyempatkan makan biar tidak mati di warung mie rebus seberang gang kontrakkan. Pesan dua mie rebus dan bayar masing-masing, biar gak ada yang salah duga kita adalah pasangan homo. Tiba-tiba, bunyi sirine kendaraan roda empat yang ditubuh mobilnya itu banyak tulisan segala macam, dari pelayan masyarakat hingga nomor telepon yang bisa dihubungi bila perlu plus tulisan besar yang menunjukkan identitas kehebatannya. Kemudian turunlah satu orang yang berseragam dengan segala tempelan atribut yang terlihat betapa gagahnya. Sementara itu, petugas warung mie rebus sedang sibuk melayani pelanggannya yang hampir mati karena belum makan setelah pulang kerja. Orang yang berseragam hebat tersebut yang baru turun dari kendaraan tadi lalu menghampiri petugas mie rebus dan menanyakan sesuatu. "Ada yang main ya dibelakang?" "Gak tau pak, lagi dilihat sekalian dipanggil kesini" Tidak lama waktu, datang seseorang yang memakai topi, berwajah gelap, sangar dan bertubuh tinggi lebar sambil tersenyum senyum dengan berjalan cepat. "Ehh... Udah lama pak?" "Ahh tidak, baru aja sampe" Seseorang yang memakai topi itu kemudian menyelipkan beberapa lembar kertas berharga kepada orang yang turun dari kendaraan hebatnya. "Lagi maen apa skarang dibelakang?" Sambil pasang muka berseri seri ramah pakai senyum "biasa aja pak.. maen sampah ehh sapsah.." ( Kata kata aslinya gak pake 'sampah' dan 'ehh' gitu) "Ohh..." tetap pake senyum dan tampang berseri seri ramah Sedangkan ditengah gurau sapa orang-orang itu, pesanan saya kepada petugas mie rebus sedang disajikan. Kebetulan, meja yang saya tempati  itu merapat ke tembok dan direkatkan kaca yang cukup panjang hingga bisa melihat ramah tamah dua keparat dibelakang saya. "Saya pergi dulu ya.." ujar orang yang tadi tampangnya berseri seri "iya pak... Iya pak" tidak kalah berseri serinya orang yang tinggi lebar, pakai topi dan berwajah gelap Kemudian, setelah orang yang berseri seri pertama tadi pergi mengendarai kendaraannya yang hebat,  orang yang berwajah gelap itu bertanya pada petugas mie rebus. "Ngambil apa aja tadi dia?" "Gorengan tiga dan Rokok dua bungkus" jawab petugas mie rebus Lalu saya lihat, orang bertanya itu membayar sejumlah harga yang disebutkan petugas mie rebus. Sambil makan mie rebus, saya berbicara pada kawan saya Ucup (ingat!! Bukan nama sebenarnya) "Bikin malu aja tuh seragam dipake buat minta-minta dan malah melindungi kelompok judi" "Iye tuh.. Apalagi waktu menjelang lebaran kemarin itu... Banyak yang mondar mandir sampe berkali kali ke tempat kerja kita" "Iya.. Gue juga tau. Bahkan seragam ijo sampe dua kali minta minta. Kayak yang gak dapet gaji dari pemerintah aja" ujar saya menambahkan "Nahh.. Seragam tanah malah sampe tiga kali yang gue liat bolak balik minta minta sambil bawa map kayak proposal gitu"  Ucup (bukan nama sebenarnya lagi) juga menambahkan "Kaga malu apa kaga punya malu yak?" pungkas  saya sambil menambahkan saos "kalo punya malu, mereka gak akan jadi seperti itu..." jawab Ucup (Sumpah!! bukan nama sebenarnya) lagi sambil tertawa berusaha melucu Padahal, beberapa tahun yang lalu mereka berteriak teriak agar mendapatkan kelayakan penghasilan sehingga tidak menyebabkan mereka menjadi tukang minta-minta atau jadi beking suatu kelompok. Dan setelah semua teriakan mereka itu terpenuhi, tetap saja masih ada pungli atau apapun namanya tersebut. SAya rasa ini bukan karena soal pendapatan atau penghasilan mereka yang tidak mencukupi, tapi soal HABIT atau kebiasaan yang selalu terulang. Membenarkan yang biasa tanpa membiasakan yang benar. Habis sudah kata kalau bicara soal kebiasaan. Saya punya teman yang sudah lama akrab dan kenal dari dunia maya hingga bersahabat di dunia nyata, sebut saja namanya itu 'kera'. Selain dia memilih identitas dunia maya dengan kata tersebut, juga karena dia cerita bahwa dari dulu dirumahnya selalu tersedia pisang, dan karena dulu sewaktu kecil dia pernah berjualan es kelapa di kebun binatang Ragunan, kawan saya menyembunyikan dagangannya dipinggir kandang binatang itu untuk menghindari kejar-kejaran petugas yang melarang berjualan didalam kebun binatang. "Gar, gue tau lu gak suka ma orang yang pake seragam warna tanah seperti ini, tapi tenang aja Gar.... Gue yakinin sama lu, gue gak pernah makan duit orang lain dan gak pernah makan duit yang bukan dari keringat gue sendiri" Sampai sekarang pun saya masih bersahabat dengan kera yang baik hati itu. Saya juga pernah dibuat melongo dan ternganga mendengar cerita kera kawan saya ini, bahwa dia walau baru berpangkat ***** tapi gaji dan penghasilannya cukup besar dan menakjubkan. Gaji dari pemerintah sebagai pelayan masyarakat, ditambah penghasilan dari kerja sampingan sebagai tenaga pengamanan yang diperbantukan di satu lembaga. Saya melihat dari PP No 16 Tahun 2012 tentang gaji gaji mereka itulah pokoknya. Dibandingkan dengan para pendahulu mereka yang telah menular teruskan kebiasaan kebiasaan pungli dan beking membekingi sebelum PP No 16 tersebut. Kalaupun alasan tidak cukup untuk membuat dapur ngebul tetap dijadikan alasan melakukan pungli dan membekingi satu kelompok tertentu, dalam artikel ini adalah kelompok judi, maka saya cuma bisa melanjutkan tulisan ini dan berharap mereka suatu saat punya malu walau sedikit. Penghasilan cukup atau tidak itu hanya ada dalam pikiran saja... Bila otak terprogram untuk tidak cukup maka ya tidak akan pernah cukup apalagi ditambah untuk memenuhi gaya hidup yang bukan primer. Dan kalaupun sudah memaksakan untuk cukup namun tetap saja tidak cukup bahkan sangat berkurang untuk mendekati kata cukup, maka itu adalah kegagalan pemerintah untuk menyejahteraan rakyat dam masyarakatnya. Atau bila ini hanya terjadi dalam satu lembaga keaparatan, maka itu adalah kegagalan pimpinan dan atasan mereka karena tidak adanya kesanggupan dari dalam untuk mereformasi lembaganya untuk menjadi lebih baik. Saya yakin bukan hanya tempat kerja saya saja yang didatangi oleh aparat aparat ditambah lembaga swadaya masyarakat yang tidak berdaya guna seperti itu. *Note : Kejadian nyata disekitar perempatan rawa panjang , Bekasi - Jawa Barat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun