Pernah suatu ketika, saya dan ibu saya menghadiri salah satu pernikahan tetangga yang berada di kampung sebelah. Hajatan di kampung kami berbeda dengan hajatan yang ada di kota, di kampung kami, kehadiran ke suatu hajatan tidak ditentukan jamnya yang penting datang pada hari H nya dan biasanya seusai sholat Maghrib. Mereka bisanya menggelar tenda yang dilengkapi sound system dengan menyetel lagu-lagu dangdut atau lagu-lagu grup musik kasidah.
Seperti layaknya acara hajatan seperti biasanya, setelah datang dan duduk, tak lama kemudian kami disuguhi makanan berupa sepiring nasi kare ayam atau jenis makanan berkuah lainnya dan segelas teh panas.
“Datang sama siapa bu?” tanya bapak empunya hajatan dan menyalami ibu saya.
“Ini dengan anak saya,” jawab ibu sambil menoleh ke arah samping kiri.
“Oh..! Inggih, monggo, silakan!” kata si empunya hajatan sambil mengambil dua piring nasi kare ayam dan dua gelas teh panas dari baki yang dibawa oleh seorang gadis muda yang mengikutinya.
“Terima kasih!” jawab ibu saya dan menaruh piring dan gelas tersebut di meja kecil depan kami duduk.
Pada saat suguhan telah disajikan, ada suatu hal yang menarik perhatian saya saat itu, terlihat bekas bibir yang melekat di gelas-gelas yang disuguhkan kepada saya dan ibu saya.
Maklum saat itu adalah kali pertama saya diajak untuk menghadiri hajatan oleh ibu saya, jadi tidak ada rasa curiga akan bekas bibir yang ada di gelas itu, biasanya yang diajak untuk hadir di hajatan kampung adalah kakak saya. Entah kenapa kakak saya saat itu enggan untuk ikut hajatan ketika diajak oleh ibu saya, jadi sayalah yang menjadi pengganti posisi kakak saya.
Pada saat sampai di rumah setelah usai menghadiri acara hajatan itu, kakak saya sempat bertanya apakah saya melihat bekas bibir yang ada di gelas yang disuguhkan.
“Lu, tadi disuguhi teh ya?”
“Lihat nggak ada bekas bibir di gelas yang diminum lu?” tanya kakak saya dengan penuh penasaran.