Mohon tunggu...
Jihan Auliana Ghaisani
Jihan Auliana Ghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Halo! Saya Jihan, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kilas Balik Perjuangan Sang Pahlawan Devisa

15 April 2022   16:35 Diperbarui: 15 April 2022   16:38 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memasuki tahun 2010, Indonesia dihadapi dengan maraknya kasus penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terjadi di berbagai negara. TKI sendiri merupakan sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Biasanya bentuk tenaga kerja yang dihasilkan berupa Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan didominasi oleh kalangan perempuan, sehingga kerap kali disebut sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan juga dikenal sebagai Pahlawan Devisa, sebab banyak TKI yang telah menyumbangkan banyak devisa bagi negara.

 Faktor ekonomi dinilai menjadi salah satu faktor pendorong warga Indonesia untuk akhirnya pergi mencari rezeki di luar negeri. Sekilas, kehidupan di luar negeri dinilai lebih layak dan diharapkan dapat mampu mendongkrak perekonomian TKI melalui upah yang lebih tinggi. Namun pada realitanya, justru kontradiktif dan membawa Indonesia menuju permasalahan baru: penganiayaan dan tindak kekerasan. Terdapat banyak sekali kasus-kasus kekerasan yang dapat dijumpai di berbagai negara, dan bahkan beberapa diantaranya tergolong sebagai tindakan perdagangan manusia (human trafficking).

Sebagai kilas balik singkat meninjau maraknya kasus penganiayaan TKI, dapat dilihat dari kasus Sutini Tri Hefisi. Beliau merupakan seorang TKI asal Banjarmasin yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh majikannya di Singapura. Di sana, Sutini mendapatkan perlakuan tidak baik yang beliau tulis dalam buku hariannya. Melalui buku tersebut, Sutini menceritakan hak kehidupannya yang dirampas, seperti melarang adanya komunikasi dengan keluarga, ponsel diambil, dikurung di gudang selama tiga hari, diberi hanya makan satu kali, dan bahkan tidak diberikan upah selama satu bulan bekerja. Saat Sutini kembali ke Indonesia, beliau langsung dirawat di rumah sakit sebab diindikasikan memiliki penyakin meningitis, paru-paru dipenuhi lendir, dan stroke. Namun di tengah menjalani perawatannya setelah 2 bulan, nyawa Sutini tidak tertolong dan kemudian meninggal dunia.

Selain Sutini, kasus penganiayaan terhadap TKI juga dialami oleh Erwiana, yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Beliau diberangkatkan oleh PT Graha Ayun Karsa sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong pada tahun 2013. Selama 8 bulan bekerja, Erwiana kerap kali mengalami tindakan kasar dari majikannya yang melibatkan tubuhnya, seperti luka memar di kepala, wajah, telinga, bokong, tangan dan kaki. Pada kepulangannya, Erwiana hanya dibekali tiket tujuan ke Surabaya, uang tunai sebesar Rp 100 ribu, serta popok untuk menutupi bokongnya yang masih basah akibat luka penyiksaan. Pun selama Erwiana bekerja, majikannya tidak pernah memenuhi hak dasar Erwiana, yakni upahnya.

Kasus yang dialami oleh Sutini dan Erwiana, telah menjadi sebuah fenomena sosial yang besar bagi sektor tenaga kerja Indonesia. Mereka hanyalah dua kasus dasar yang menggambarkan gelapnya dunia migran yang sangat rentan untuk memicu adanya tindakan perdagangan manusia. Terlebih TKI yang didominasi oleh perempuan, menjadikan posisi perempuan menjadi semakin rentan dan mengalami peran ganda. Di satu sisi, perempuan harus menunaikan kebijakannya sebagai Ibu Rumah Tangga, namun di sisi lain perempuan yang diberangkatkan menjadi TKI terpaksa mengadu nasib di negeri perantauan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Terlebih, konstruksi sosial yang terbangun menjadikan perspektif masyarakat terhadap perempuan membuatnya semakin sulit untuk mengekspresikan dirinya. Masih banyak Sutini dan Erwiana di luar sana yang mungkin belum terekspos oleh media dan hilang begitu saja.

Menanggapi hal ini, pemerintah berupaya untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya menuntaskan permasalahan TKI, namun juga sebagai bentuk upaya preventif apabila kasus tersebut dapat terjadi pada TKI lainnya. Adapun perlindungan tersebut tertuang pada Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004, Undang Undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002.

Akan tetapi, peraturan yang seharusnya mengikat dan menjadi pedoman terhadap perlindungan hidup TKI di luar negeri pada kenyataannya belum maksimal. Undang-undang tersebut dinilai terlalu using, sehingga tidak relevan dengan yang dialami oleh TKI saat ini. Selain itu, ketidakefektifan pemerintah dalam menangani kasus penganiayaan TKI sebagai pahlawan devisa juga dilihat dari prosedur pendaftaran yang rumit dan berbelit-belit. Hal inilah yang memicu banyak calon TKI melakukan jalan pintas melalui agen calo dengan cara yang lebih mudah, walaupun berstatus ilegal. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah secara tidak langsung menjadi dua bilah mata pedang yang berbeda. Banyak masyarakat yang menuntut kejelasan, namun pemerintah justru abai dan memberikan jawaban yang normatif saja. Untuk itu pada era modern 2022 ini, semoga tidak ada lagi kasus Sutini dan Erwiana di luar sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun