Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Massa Cetak Akan Punah?

9 Februari 2023   19:59 Diperbarui: 9 Februari 2023   20:10 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wah, hari ini, Kamis 9 Februari 2023, ternyata Hari Pers Nasional? Bahkan acara puncaknya diselenggarakan di Deliserdang, Sumatera Utara, dihadiri Presiden Jokowi pula.

Wah... mestinya Kompasiana meramaikan momen ini dengan sebuah topik tentang pers itu sendiri. Atau besok atau lusa? Semoga. Tetapi itu bukan menjadi halangan bagi saya untuk menuliskan sesuatu menyangkut pers. Sebab, jelek-jelek gini penulis pernah juga berkiprah di dunia yang satu ini, bahkan menjadi "saksi" masa transisi Orde Baru Soeharto ke era reformasi yang kebablasan.

Di era Orde Baru yang otoriter itu, pers sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Maka tidak heran jika tidak ada media yang berani mengkritik pemerintah secara terbuka. Tidak seperti sekarang ini, di mana seorang presiden pun bisa jadi bulan-bulanan media. Yang bagus ditulis buruk, atau yang jelek dari pihak oposisi dipuja-puja sebagai kebenaran. Dan itulah kehidupan yang selalu berubah.

Di zaman Orba, tidak mudah mendirikan usaha penerbitan pers yang baru. Apalagi yang spesifikasinya politik. Sebab ada kesan pemerintah saat itu tidak ingin dikoreksi atau dikritik media. Maka apapun keputusan, kebijakan, ucapan dan tindakan Soeharto kala itu, akan diberitakan media-media dalam nada puja dan puji kepada pemerintah.

Sebab  kalau berani berkata "miring", atau menuliskan hal yang sebenarnya, alamat media atau surat kabar yang berbuat itu akan dihajar tanpa ampun. Sebagai contoh, tentu masih banyak di antara kita yang masih mengingat soal majalah Tempo dan harian sore Sinar Harapan yang dibreidel karena dianggap memberitakan sesuatu aib pemerintah?

Di era reformasi, kedua media ini bisa hidup kembali, sebab pihak yang mengurungnya sudah "mati". Media-media yang pernah dibungkam bisa bebas lagi. Yang utama, sudah tidak diperlukan lagi SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Akibatnya, di awal reformasi itu media-media massa, utamanya koran harian, majalah/tabloid mingguan, bertumbuhan bak cendawan di musim hujan.

Tapi semua harus menjalani seleksi alam. Sebab tidak semua media-media baru itu sukses di pasaran. Lebih banyak yang cuma sekadar numpang lewat, lalu hilang tak berbekas selamanya. Yang bertahan hanyalah media-media yang sejak dulu memang sudah mapan, sebab memiliki pembaca setia yang tidak kepincut dengan media-media baru yang dikelola secara amatiran.

Kini media memasuki zaman yang baru lagi. Setelah era Orba dan Reformasi, kini memasuki era online atau digital. Dengan sistem online, pemirsa di seluruh dunia tidak perlu menunggu satu hari untuk membaca berita di koran atau majalah yang dicetak pada tengah malam atau dini hari, dan diedarkan pagi harinya.

Sekarang, ini apa yang terjadi di belahan dunia lain, dapat kita lihat dan ketahui pada saat yang sama. Misalnya, gempa dahsyat yang terjadi di Turki dan Suriah, bisa kita saksiksan bersama-sama, atau bahkan dalam waktu yang bersamaan dengan mereka yang berada di TKP (tempat kejadian perkara).

Maka ketika berita tersebut diulas di koran-koran harian, rasanya sudah hambar. Bahkan mungkin saja pembaca lebih tahu banyak tentang kejadian itu ketimbang yang diulas habis-habisan di koran besar dan mapan sekalipun. Misalnya ada kawan atau sanak keluarga kita yang berada persis di lokasi, dia bisa menceritakan secara gamblang tentang peristiwa itu bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun