Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ulos Batak dalam Dilema

20 Januari 2020   10:41 Diperbarui: 20 Januari 2020   10:42 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ulos adalah kain selendang khas etnik Batak, Sumatera Utara. Biasanya dibikin oleh kaum ibu dengan cara ditenun pakai alat dari kayu yang sangat sederhana. 

Awalnya hanya ada yang berwarna hitam gelap, namun semakin ke kini, sudah makin banyak warna dan variasi yang dihias dengan manik-manik dan warna-warni lainnya. Ulos ini pun masing-masing punya nama, misalnya ada ragi hotang, sibolang, dll.

Ulos dipakai orang-orang Batak kalau pergi ke pesta adat, dan melayat orang meninggal. Ulos yang dipakai ke pesta adat perkawinan misalnya, pasti beda dengan yang dikenakan saat melayat ke rumah duka. 

Dalam pesta pernikahan adat, orangtua mempelai wanita yang akan memberikan ulos (baca: menyelempangkan) atau "mangulosi" pengantin. Sedangkan orang tua pengantin pria, tidak perlu mangulosi, justru orang tua pengantin pria yang diselempangkan ulos oleh besannya.

Pemberian ulos ini berarti lambang berkat. Jadi hanya pihak yang pada saat acara pesta itu kedudukannya lebih tinggilah yang memberikan "berkat" itu kepada yang kedudukannya di bawah. Dalam posisi ini, pihak orang tua pengantin perempuan disebut dengan "hulahula" atau "raja" oleh pihak pengantin laki-laki.

Mengapa harus orangtua pengantin perempuan yang menyampaikan ulos dalam pesta adat pernikahan? 

Menurut hikayat, dahulu kala, di masa Tanah Batak ratusan tahun silam, jarak kampung dengan kampung sangat berjauhan, dan masih dilingkupi belantara. 

Seorang pemuda harus pergi jauh ke kampung lain untuk mencari wanita untuk teman hidupnya. Singkat cerita setelah kedua pihak sepakat dan orang-orang tua mulai terlibat, dinikahkanlah kedua pasangan ini. 

Sesuai tradisi, pria akan membawa istrinya itu ke kampungnya yang jauh itu, sebab kini si perempuan sudah menjadi bagian sepenuhnya dari pria itu. Maka ketika agama Kristen datang ke Tanah Batak, ajaran Alkitab tentang "pernikahan hanya sekali dan seumur hidup" sangat klop dengan adat leluhur Batak.

Melepas putri tercinta ke tempat yang sangat jauh---dan belum tentu bisa sering bertemu---sangat membuat orang tua perempuan sedih dan cemas. Maka diberikanlah ulos sebagai bekal kepada putrinya itu, untuk dijadikan selimut di malam hari, karena Tanah Batak itu sangat dingin. Diberikan pula beras alakadarnya. Maka di masa kini terus berlanjut, di setiap pesta adat pernikahan, pihak keluarga putri mangulosi putri dan menantunya itu. Rombongan keluarga pengantin wanita juga membawa beras dan ikan mas.

Begitulah sekilas tentang ulos yang tidak akan dapat diterangkan dalam artikel ringkas seperti ini. Tapi yang ingin dibahas di sini bukanlah tentang sejarahnya, namun justru "masa depan" ulos itu sendiri.

Kemajuan zaman dan teknologi pasti menggerus pelan-pelan segala tradisi dan budaya di masyarakat mana pun. Demikian pula halnya dengan pesta adat di kalangan orang Batak, dan secara khusus ulos itu sendiri. Dalam sebuah pesta pernikahan adat, ulos-ulos masih tetap bergulir, sekalipun sudah mulai ada yang menggantikannya dengan amplop berisi uang.

Jika pestanya tergolong besar, sudah pasti akan banyak ulos yang diselempangkan ke pengantin. Jumlahnya bisa ratusan. Persoalannya, ulos-ulos sebanyak ini akan dikemanakan? Biasanya hanya dibawa pulang oleh mempelai ke rumah. Ada yang menaruhnya di lemari, bahkan ada yang membiarkannya tetap dalam karung. Hanya beberapa helai ulos yang dianggap punya "status" lebih berharga yang disimpan secara khusus, misalnya ulos pemberian orang tua pengantin, dan dari kerabat yang sangat dekat dan dihormati. 

Ulos-ulos yang lain, bisa saja suatu ketika nanti dibawa ke pesta untuk diselempangkan di pesta adat pernikahan, kalau mereka mendapat undangan, dan posisinya sebagai kerabat pemberi ulos. Demikian seterusnya. Tetapi kan tidak setiap hari atau setiap minggu/bulan orang menghadiri acara adat yang mengharuskan dia memberikan ulos, kan? Akhirnya, jumlah ulos pemberian kerabat waktu di pernikahan praktis tidak banyak berkurang. Bahkan ada kalanya kalau kerabat yang sangat dekat menikah, kita malah sengaja membeli ulos yang baru.

Ulos-ulos yang ada di rumah, kalau tidak diurus dengan baik, dalam arti dibiarkan saja demikian menumpuk dalam karung atau tersimpan dalam lemari, suatu ketika, lama-lama akan lapuk dan pada akhirnya rusak. Namanya barang rusak harus dibuang, bukan? Sementara kalau ulos-ulos ini dijual ke "pengepul" di pasar pun harganya sudah jatuh. Sedangkan si pengepul akan menjualnya dengan harga yang masih tinggi.

Ada sebenarnya suara-suara supaya posisi ulos itu diganti dengan amplop saja. Yang menyampaikan ulos pada kedua mempelai dibatasi saja hanya beberapa orang. Tapi ini ditentang oleh banyak orang dengan alasan ulos itu menjadi tidak berharga lagi. Dan bukan tidak mungkin pula produsen ulos, yang saat ini sudah banyak menggunakan mesin-mesin industri, akan berhenti berproduksi? Dan pada akhirnya melenyapkan ulos itu sendiri dari masyarakat Batak?

Ini menjadi dilema besar. Kalau tradisi ini terus dilangsungkan maka akan banyak ulos yang menumpuk sia-sia di rumah-rumah, namun pada sisi lain, jika diadakan pembatasan akan mengancam eksistensi produsen, dan terutama perajin tradisional?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun