Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bukan Komnas HAM atau KPAI, tetapi KPK yang Bubar

11 September 2019   11:09 Diperbarui: 11 September 2019   12:08 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasrat tahunan oknum-oknum politikus bermental maling itu akhirnya mulai tercapai. Mereka akhirnya berhasil merevisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Tidak salah judul headline Koran Tempo hari ini (11/9/2019) bahwa lembaga antirasuah itu "Sejengkal Menuju Ajal". Seruan rakyat banyak, dan para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, supaya Presiden menyelamatkan KPK, ternyata tidak digubris.

 Kekhawatiran ratusan pegawai KPK sudah mulai menampakkan kenyataan. Mereka padahal sudah mewanti-wanti bahwa "KPK lahir di era Megawati, dan tewas di era Jokowi". Tragis, Jokowi yang diharapkan menjadi pahlawan rakyat untuk menyelamatkan KPK, ternyata tidak berdaya sama sekali. 

Lonceng kematian KPK sudah mulai berbunyi ketika pemerintah akhirnya mendukung inisiatif DPR untuk merevisi UU KPK. Dalih pemerintah bahwa mereka "baru" menyetujui separuh usulan politikus Senayan,  itu hanya basa-basi. 

Para politikus dan pemerintah selalu berdalih bahwa revisi UU KPK itu tujuannya untuk menguatkan, bukan melemahkan, seperti tuduhan dan kekhawatiran rakyat banyak. 

Ironis. Ketika ratusan juta rakyat didukung para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan melihat bahwa revisi UU KPK itu  nyata melemahkan lembaga antikorupsi itu, namun ratusan politikus masih berani mengatakan bahwa mereka ingin menguatkan KPK. 

Para politikus silakan mengatakan apa saja tentang hal ini, tetapi kami lebih percaya pada suara rakyat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berintegritas.

Sesuai keinginan politikus, KPK edisi mendatang tidak lagi dapat bekerja dan bertindak independen. Lembaga ini akan memiliki dewan pengawas yang segera akan dibentuk. 

Menurut Wapres Jusuf Kalla, yang sebentar lagi cabut dari istananya, dewan pengawas ini akan mampu meningkatkan kinerja KPK karena memiliki wewenang untuk memastikan segala prosedur berjalan dengan baik. Itu kan menurut Pak Wapres. 

Tapi menurut jutaan rakyat, kok tidak begitu?! Buktinya seluruh elemen masyarakat tiada henti melakukan aksi demo menolak revisi UU KPK?

Poin lain yang disetujui pemerintah adalah penyadapan oleh KPK harus diawasi. Artinya, KPK tidak boleh lagi "sembarangan" menyadap oknum-oknum yang selama dicurigai. 

Maksud pengawasan ini adalah menjaga privasi oknum yang punya niat mencuri atau menggarong uang rakyat. Padahal jujur saja, justru aktivitas penyadapan inilah yang menjadi senjata ampuh KPK dalam menangkap para pencuri. Dan ketika wewenang yang sangat vital ini sudah dipreteli, KPK ibarat macan ompong, yang tidak bermanfaat lagi. 

Dan ini sama artinya membuat KPK mati. Sampai di sini jelaslah sudah bahwa KPK itu bukannya diperkuat, tetapi dilemahkan secara nyata. Luar biasa memang kekuasaan para politikus di era reformasi ini yang bisa membuat seorang presiden seolah tidak punya arti sama sekali. 

Jokowi dikenal sebagai sosok yang berani mengevaluasi bahkan membubarkan lembaga-lembaga yang dinilai tidak bermanfaat atau kinerjanya tidak jelas. Selama ini masyarakat luas mempertanyakan keberadaan Komnas HAM yang suara dan keputusannya sering membuat bingung rakyat. Katanya membela hak asasi masyarakat, tetapi di banyak tempat banyak orang yang tidak dapat beribadah karena diganggu gerombolan,  yang malah sering di-back up aparat atau pemerintah setempat. Atau ketika terjadi kerusuhan massa pada 21-22 Mei 2019 yang memprotes pengumuman KPU tentang kemenangan paslon capres 01, Komnas HAM justru menyalahkan aparat yang tugas dan kewajibannya meredam kerusuhan dan melindungi masyarakat dari gerombolan pengacau.

Sekarang ini kita dipertontonkan dagelan yang tidak lucu dari KPAI yang menyoal PT Djarum sebagai mengeksploitasi anak-anak. Padahal anak-anak itu diberi fasilitas untuk berlatih badminton, dan ini sudah sejak puluhan tahun silam. 

Akhirnya, perusahaan ini mengancam akan menghentikan donasinya di bidang pembinaan bibit-bibit atlet badminton. Sial! Gara-gara segelintir oknum yang tidak jelas kerjanya, ribuan anak terancam kehilangan kesempatan menjadi atlet badminton. 

Siapa yang tidak dongkol? Oknum-oknum yang mendapat gaji besar dan fasilitas dari negara ini bukannya mengurusi anak-anak jalanan yang telantar dan diekspoloitasi, tetapi malah menghancurkan mimpi "bibit-bibit" atlet olahraga badminton. 

Maka tidak salah banyak suara menyerukan agar lembaga ini dibubarkan saja. Dan bahkan Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama (BTP), semasih menjadi gubernur DKI, pernah mengusulkan hal yang sama: membubarkan lembaga ini.

Dunia ini memang sering aneh. Apa yang diharapkan rakyat banyak tidak mudah terealisasi, namun sebaliknya, apa yang dikhawatirkan rakyat, justru itu yang akhirnya terjadi. KPK, lembaga yang sejauh ini lebih dipercaya masyarakat luas sebagai lebih serius, lebih fokus, lebih berani memerangi praktik-praktik korupsi, sedang menuju sakratul maut. Sekarat! Siapa yang menabuh lonceng kematian KPK itu? Politikus busuk dan pemerintah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun