Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Indonesia Sejak Dulu Kala(h)

7 September 2019   00:40 Diperbarui: 7 September 2019   02:01 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepak bola nasional kita kembali harus tertunduk lesu setelah akhirnya dikandaskan timnas Malaysia pada Kamis, 5 September 2019, dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2022. Lebih menyesakkan dada, kekalahan dengan skor (2-3) ini diderita PSSI di depan puluhan ribu pendukungnya sendiri, di kandang sendiri, Gelora Bung Karno. 

Dalam ajang ini, PSSI berada di Grup G bersama Thailand, Vietnam, Malaysia, Uni Emirat Arab (UAE). Dan hanya dua tim teratas yang akan melaju ke babak penyisihan selanjutnya. Melihat komposisi grup, hampir dapat dipastikan bahwa UAE sudah menjejakkan kakinya di sana. Jadi tinggal PSSI, Thailand, Malaysia dan Vietnam yang akan berjibaku merebut satu lagi tempat. Dan dengan kekalahan PSSI atas negara jiran yang juga musuh bebuyutannya pada laga perdana ini, hampir dapat dipastikan bahwa pertarungan memperebutkan satu tempat lagi itu hanya antara Thailand, Vietnam dan Malaysia.

Indonesia sepertinya tidak "berbakat" dalam olahraga sepak bola. Jangankan untuk tampil di putaran Piala Dunia, untuk kawasan Asia Tenggara saja, timnas kita tidak berdaya. Ironis jika dihubungkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta jiwa, namun sulit menemukan belasan orang saja pemain sepakbola handal. 

Berbagai cara sudah dilakukan antara lain dengan mendatangkan pelatih-pelatih asing, namun hasilnya begitu-begitu saja. Nasib yang sama kelihatannya akan dialami pula oleh pelatih saat ini, Simon Mc Manamy, yang berasal dari Skotlandia. Timnas sempat memberi harapan ketika ditangani oleh Luis Milla, sekalipun gagal mencapai target di cabang sepakbola Asian Games 2018 lalu. Namun pelatih berkebangsaan Spanyol ini dianggap telah membawa angin segar, dan diyakini akan semakin baik seiring waktu.

Tapi mantan pemain Barcelona dan Real Madrid tersebut ogah balik lagi ke Indonesia untuk melanjutkan menangani Garuda. Penyebabnya, konon, masalah pembayaran gaji yang tidak jelas. Kalau alasan ini benar adanya, maka pihak yang patut dipersalahkan adalah manajemen PSSI. Kok bisa-bisanya organisasi besar dan bergengsi ini tidak sanggup membayar gaji dan segala kebutuhan Luis Milla beserta timnya? 

Dari dulu memang manajemen organisasi ini sering tidak beres. Baru-baru ini saja, setelah ketua umumnya, Edy Rahmayadi, yang terpilih menjadi gubernur Sumatera Utara, "cuti", posisinya digantikan oleh Joko Driyono selaku pelaksana tugas (plt). Tapi tak lama, oknum ini dijebloskan ke jeruji besi karena dengan tuduhan melakukan perusakan, mengajak, dan menghilangkan barang bukti pengaturan skor. Dia digantikan oleh Gusti Randa yang nama dan sosoknya tidak familiar dengan urusan sepakbola tingkat nasional. Wajar saja dia diragukan membenahi dan membawa PSSI ke arah yang lebih baik. Apa tidak ada nama lain yang lebih tepat? Demikian pertanyaan di benak banyak orang. Tapi begitulah dunia sepak bola kita yang sepertinya tidak pernah diperlakukan dengan semestinya sebagaimana seharusnya sepak bola tingkat nasional. Pantas saja selalu jeblok.

Ketidakseriusan membawa sepak bola kita ke arah yang tepat, sudah terasa dari penamaan liga. Jika di Eropa dikenal Liga Primer (Premiere League), La Liga, Lega Calcio, Bundesliga, dan sebagainya, liga sepakbola negeri kita malah dinamakan Liga Shopee. Musim lalu bernama Liga Gojek, dinamakan sesuai sponsor utamanya. Besok-besok bisa saja bernama Liga Softex. Hahahahahahahahai..... Kenapa tidak konsisten saja menamakan Liga Indonesia? Nama sponsornya tidak usah disebut-sebut, cukup cantumkan di jersey atau iklan-iklan di stadion saja. Mungkin itulah salah satu kendala yang membuat sepakbola negeri sulit berkembang.

Bahwa timnas kita akan bernasib malang, mungkin juga sudah "diramalkan" oleh penggubah lagu wajib "Indonesia Pusaka", yang menuliskannya dalam lirik lagunya: Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa.... dst. Kata "kala" dalam lagu ini sebenarnya tentang waktu. Frase "dulu kala", artinya sejak zaman dahulu. Jadi, Indonesia sejak dulu kala, artinya Indonesia semenjak dahulu.

Tapi bisa saja orang-orang salah mengerti dan menganggapnya "kalah", sehingga dinyanyikan: "Indonesia sejak dulu kalah..." Bayangkan jika lagu ini dinyanyikan saat menonton pertandingan sepakbola. Mungkin berpengaruh pada mental dan semangat sehingga timnas kalah melulu? Hahahah... Ini tentu saja cuma guyon, tetapi mungkin ada baiknya lirik lagu itu diubah menjadi "Indonesia sejak dulu jaya, tetap dipuja-puja bangsa.

Semoga PSSI akhirnya menemukan kejayaannya. Andik Vermansyah dkk kalah dari Malaysia (2-3) dalam pertandingan perdana, tentu bukan akhir dari segalanya. Peluang tetap masih terbuka lebar melawan tiga tim yang lain: Thailand, Vietnam, UAE. Bukan lawan-lawan yang enteng, dan bahkan mereka sering menjadi batu sandungan Tim Garuda. Tapi sepakbola bukan matematika atau ilmu pasti. Apapun bisa terjadi di lapangan, sebab bola itu masih bundar. Yang perlu dijaga Evan Dimas cs., adalah semangat dan keyakinan akan jaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun