Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Peluang Prabowo Habis?

11 Juli 2019   15:31 Diperbarui: 12 Juli 2019   09:04 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: jeramy info

Dalam politik ada istilah 3M, yakni: money, media, dan momentum. Untuk nyapres perlu dana (money), maka seorang capres paling tidak harus memiliki sumber dana yang sangat besar. Prabowo Subianto, selain memiliki dana sendiri sebagai pengusaha yang kaya-raya, juga mempunyai seorang adik, Hashim Djojohadikusumo, pengusaha kelas atas yang tentu memiliki dana yang sangat cukup untuk menopang pencapresan sang kakak.

Setali tiga uang dengan Sandiaga Uno, yang tidak diragukan lagi dalam soal dana. Bahkan di tengah makin panasnya situasi menjelang hari H pilpres, disebut-sebut cawapres-nya Prabowo ini menjual salah satu perusahaannya? Bisa dimaklumi, yang namanya dana segar sangat dibutuhkan untuk menopang dan mendukungnya untuk mengarungi kompetisi yang sangat mahal dan bergengsi ini.

Bagaimana dengan paslon 01, Jokowi dan Amin Ma'ruf? Jokowi memang pengusaha, namun asetnya tidak seheboh pasangan Prabowo -- Sandi. Lalu dari mana dana untuk membiayai segala aktivitas kampanye? Pasti banyak pihak yang tergerak untuk menjadi pendonor, termasuk para pengusaha, asalkan saja tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Uang atau dana memang sangat diperlukan terutama dalam kampanye yang melibatkan massa yang jumlahnya sangat besar. Perlu spanduk, selebaran, bendera, konsumsi, dan transportasi yang jumlahnya pasti mil-milan. Uang memang menjadi salah satu faktor untuk memenangkan kompetisi politik semacam pilpres atau pilkada. Sang calon memang tidak harus punya uang banyak, tapi paling tidak dia harus memiliki penyandang dana. Lihat saja Wan Abud, dengan modal dengkul bisa menjadi cagub. Dia beruntung karena partnernya konglomerat.

Media? Jelas sangat vital terlebih di era informasi masa kini. Jokowi pada saat kemunculannya di tengah publik, dia dikenal sebagai media darling. Sosok ini menjadi buruan para awak media untuk dipublish di surat-surat kabar, majalah atau televisi. Bagaimana penting dan urgennya pemihakan media (terutama yang mapan dan punya nama besar) sudah diperlihatkan oleh capres Prabowo Subianto yang mencak-mencak tidak karuan memprotes dan mengecam media-media yang menurutnya tidak memberitakan reuni Alumni 212 yang dihadiri 11 juta manusia di Monas, 2 Desember 2018 lalu.

Bagaimana dengan momentum? Jelas sangat menentukan pula. Ketika Bung Karno menjadi presiden sejak 1945 hingga 1967, itu karena memang tepat momentumnya. Sesuai dengan masanya. Coba bayangkan apabila beliau "tiba-tiba" hadir lagi di tahun 2019 ini, pasti tidak lagi sesuai dengan era kita. Dia yang tidak mengalami internet di masanya, kok mau jadi capres di era digital seperti sekarang? Ya kacau, Pak Eko. Prabowo produk masa laloe yang masih bersama kita di milenia ketiga ini saja sudah gagap soal istilah unicorn. "Yang onlen-onlen itu kah?" dia malah balik bertanya ke Jokowi saat acara debat pilpres beberapa waktu lalu.

Jadi kalau bicara soal momentum, peluang Prabowo itu sebenarnya pas di tahun 2014 lalu. Tampilnya dia bersama Megawati pada 1999 sebagai cawapres sudah merupakan awal dari momentum itu. Bahkan pada saat itu banyak orang yang menganggap mestinya Prabowo-lah capres, bukan cawapres pada saat itu. Sayang, pasangan Mega-Prabowo ini kalah oleh petahana SBY. Karena SBY tidak bisa nyalon lagi, banyak beredar nama untuk 2014. Dan di tahun-tahun politik sebelum Pilpres 2014 itu, nama dan sosok Prabowo sangat mentereng. Saya sendiri pun ketika itu kepincut oleh sosok doi.

Tapi begitulah. Tiba-tiba muncul sosok Joko Widodo, walikota Solo yang sukses, dan menjadi lebih fenomenal gara-gara mobil Esemka. Singkat cerita dia ke Jakarta menjadi calon gubernur dengan mengantongi dukungan Megawati PDIP dan Prabowo Gerindra. Ayah tiga anak ini menantang cagub petahana, Gubernur DKI Fauzi Bowo (Foke). Jokowi yang berpasangan dengan Ahok menang, dan membuat sinar Jokowi semakin benderang (mungkin karena adanya tjahaja poernama?). Sinar terang Jokowi ini bahkan sampai menghapus momentum Prabowo sehingga kandas dalam Pilpres 2014. Dan di tahun 2019, momentum itu kembali menjadi milik Jokowi.

Dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa momentum Prabowo sudah habis, terlebih mengingat usianya sudah 72 tahun. Nah sementara capres potensial yang muda dan segar sudah banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun