Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Saatnya Ibu Kota Pindah

14 Mei 2019   16:17 Diperbarui: 14 Mei 2019   16:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlanjutnya masa jabatan Presiden Jokowi untuk periode kedua (2019-2024), di lain sisi semakin menguatkan gaung pemindahan ibu kota negara kita ke luar Pulau Jawa, yang memang sudah sesak sejak dahulu kala. Konon penduduk negeri ini, sebanyak 52% bermukim di Pulau Jawa--yang padahal pulau terkecil dari antara the big five: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. 

Wacana pemindahan Ibu Kota memang bukan ujug-ujug, sebab sudah tercetus di era Presiden Bung Karno. Bayangkan, ketika itu Jakarta belum seruwet dan serumit sekarang, namun Soekarno yang dikenal sebagai pemimpin yang visioner itu sudah melontarkan ide brilian tersebut. Posisi (sebagian) wilayah Jakarta memang rendah, sehingga rawan banjir. Hujan di daerah Puncak harus melalui Jakarta sebelum ke laut. Jakarta juga rawan gempa. 

Faktor-faktor alamiah ini saja sudah sangat memadai untuk dijadikan pendukung bahwa memang sebaiknya ibu kota pindah saja. Belum lagi soal perkembangan jumlah penduduk dan kendaraan bermotor yang membuat kota ini macet. Maka tidak ada lagi alasan untuk menolak pemindahan Ibu Kota, ke luar Pulau Jawa.

Sebagai kota metropolitan, Jakarta dewasa ini sangat sumpek. Jumlah kendaraan yang semakin hari semakin bertambah tidak sebanding dengan jalan yang tersedia. Transjakarta yang diharapkan dapat mengatasi problem kepadatan dan kemacetan lalu-lintas ini sepertinya kurang berhasil. Pemilik mobil tetap saja menggunakan kendaraan pribadi, karena keberadaan transjakarta yang tetap penuh sesak terutama di jam-jam sibuk. Belum lagi ketidakkonsistenan pengelola dan aparat untuk mensterilkan jalur busway yang membuat bus ini juga kerap terjebak dalam kemacetan yang parah.

Halte-halte transjakarta yang bertaburan di banyak tempat pun menjadikan pemandangan yang kurang elok, terlebih haltenya tidak terawat, dan tidak dilengkapi fasilitas yang bisa membuat penumpang yang sedang menunggu bus merasa nyaman. Fasilitas yang dimaksud antara lain soal toilet atau kamar mandi umum bagi pengguna bus. Ironis sekali, sebab tempat umum yang setiap hari disinggahi ribuan atau puluhan ribu orang, tidak dilengkapi fasilitas buang hajat yang layak.  Memang sih, ada beberapa halte yang dilengkapi toilet, namun sering kali tidak berfungsi.  Bukan berarti di setiap halte perlu dibangun toilet umum, namun di beberapa halte besar dan punya areal luas seperti Grogol, Slipi Petamburan, Harmoni, Senen, dll., sangat perlu disediakan fasilitas yang sangat urgen ini. 

Namun demikian, Ibu Kota tetap harus dipindah sekalipun transjakarta dan segala fasilitas pendukungnya dibenahi. Sebab permasalahan bukan pada transjakarta, namun kondisi DKI Jakarta yang memang tidak lagi mendukung dari berbagai segi untuk menjadi de hoofdstad van Indonesie. Masyarakat Ibu Kota boleh berbangga sebab belum lama ini telah punya MRT yang baru dapat menghubungkan Lebak Bulus dan Bundaran HI. Di berbagai lokasi juga pembangunan jalan-jalan layang guna mendukung alat-alat transportasi modern sedang dikebut. 

Sebentar lagi, jalur MRT bawah tanah untuk menghubungkan Bundaran HI - Kota, akan dimulai. Artinya, fisik Jakarta yang sejatinya sudah renta, terus-menerus dieksploitasi dengan alasan untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas yang bertambah parah setiap tahun. Padahal hitungannya sederhana saja: selama kendaraan bertambah, maka ruas jalan pun tidak akan pernah mencukupi sekalipun setiap tahun dibangun jalan layang, bertingkat-tingkat. Maka solusinya, batasi jumlah kendaraan, disesuaikan dengan daya tampung ruas jalan yang ada.

Lalu lintas yang lancar, menjadi salah satu syarat ideal bagi sebuah ibu kota negara. Untuk soal yang satu ini, DKI Jakarta sepertinya sudah buntu. Maka jalan satu-satunya adalah memindahkan ibu kota. Memang selalu ada pro dan kontra, tetapi pemerintah Jokowi dalam hal ini harus bertindak seperti perumpamaan: "anjing menggonggong kafilah berlalu". Tidak semua orang akan terpuaskan oleh satu kebijakan. Selalu ada yang untung dan merasa dirugikan. Tapi itulah dinamika kehidupan. 

Jakarta sejak zaman dulu adalah kota besar yang menjadi tempat tujuan banyak orang untuk mengadu nasib. Jumlah penduduk tentu berbanding lurus dengan jumlah kendaraan. Bisa saja Jakarta tidak dipindah, tetapi penduduknya yang dipindahkan sebanyak 50% ke luar Pulau Jawa(?) Dengan jumlah penduduk yang terbatas dan terkendali, DKI Jakarta sebagai ibu kota tentu akan lebih mudah dikelola. Lalu lintas lancar, banjir mungkin bisa diatasi supaya tidak berdampak luas. Tapi soal kemungkinan bencana lain yang tidak dapat diprediksi? Memang sebaiknya Ibu Kota pindah saja, sebab ini pun akan menciptakan kondisi pemerataan di segala lini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun