Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Masih Bisakah Saya Menulis?

12 Oktober 2018   18:14 Diperbarui: 12 Oktober 2018   18:15 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Judul di atas sering menjadi pertanyaan dalam benak saya. Menulis di sini dalam arti menuangkan isi hati dan pikiran ke atas kertas menggunakan pena, pensil, atau kapur--kalau menggunakan wadah papan tulis.

Pertanyaan ini tentu sangat beralasan bila mengingat di era teknologi yang sangat canggih ini yang namanya alat tulis semacam pensil, pena (ballpoint) sudah sangat jarang digunakan.

Belum lama ini di kantor saya dapat tugas mengirim surat yang ditulis, eh diketik, pimpinan (bos) ke banyak orang di berbagai kota di Tanah Air.

Saya hanya mengeprint surat itu di atas kertas berkop nama lembaga/perusahaan. Si Bos yang memang tidak ada di kantor tidak perlu membubuhkan tanda tangan ke setiap lembar surat, sebab sudah ada tanda tangan elektroniknya.

Saya hanya membubuhkan stempel lembaga di setiap lembar print-an, dan mengirimnya lewat usaha ekspedisi yang buka cabang di sebelah kantor saya. 

Selama belasan tahun bekerja di kantor ini, saya tidak ingat berapa kali saya menggunakan pena atau alat tulis lainnya. Atau bahkan mungkin tidak pernah lagi. Kalau pun pernah, paling saat mencoret-coret di atas catatan kalau sedang rapat atau mendapat instruksi dari pimpinan.

Setelah itu saya akan mengetikkan garis-garis besar yang diputuskan dalam rapat itu nanti di komputer atau laptop. Ada beberapa pensil dan pena di kotak di atas meja, namun nyaris tidak pernah lagi digunakan, kecuali untuk menandatangani surat keterangan tanda terima barang (invoice), dll. 

Setiap hari di kantor saya hanya berkutat di depan monitor, mengetik surat, artikel, curhatan, dll. Di rumah juga demikian, kalau ada waktu senggang, membuka laptop dan mengetik sampai lupa minum kopi.

Kadang saya merasa rindu menulis di atas lembaran kertas, dalam arti menulis berlembar-lembar seperti di masa sekolahan dulu ketika dapat PR dari guru membuat karangan. Tetapi sekarang mau menulis apa? Menulis surat untuk pacar? Itu masa lalu, ketika masih ABG dan belum punya istri.

Sekarang kalau mau kirim ucapan cinta ke selingkuhan pun tinggal kirim WA atau SMS. Huahahahahhaaa.... Sudah tidak jamannya lagi pakai surat-suratan dan dititipkan melalui seseorang, bisa-bisa ketahuan dan berabe rumah tangga. Hihihihihihihih.. 

Saya rindu menulis di atas kertas, menggunakan tangan dan pena atau pensil. Tapi masih bisakah? Hingga saat ini saya belum pernah mencoba. Semoga Kompasiana suatu saat nanti menyelenggarakan acara LOMBA MENULIS ARTIKEL PAKAI PENA DI ATAS KERTAS, supaya orang-orang tidak kehilangan kemampuan menulisnya. 

Rasa khawatir saya dalam menulis ini bisa saya bandingkan dengan perasaan saya dulu yang pernah khawatir tidak bisa lagi berenang.

Saya lahir dan besar di kota kecil pinggiran Danau Toba. Artinya air adalah tempat bermain saya sejak kecil, dan berenang, menyelam adalah mainan kami para anak-anak. Ada kalanya kami anak-anak kecil nongkrong di pelabuhan.

Sewaktu asyik mengobrol bisa saja diam-diam seorang preman di sekitar itu tiba-tiba mengangkat dan melemparkan salah seorang dari kami ke dalam danau. Kesal sih kesal. Tapi namanya preman di daerah itu siapa yang berani. Lagian kami masih kecil, anak SD.

Tapi karena berenang adalah keahlian kami semua, tidak ada masalah untuk naik kembali ke atas dermaga. Teman-teman dan orang-orang biasanya tertawa geli. Kita yang ketiban "sial" hanya dongkol dan kesal karena pakaian jadi basah.Gara-gara ulah preman kelas comberan itu.

Lebih dua puluh tahun setelah merantau ke Jawa, saya tidak pernah lagi masuk air untuk berenang, hingga suatu ketika timbul pertanyaan: masih bisakah saya berenang?

Untuk membuktikan ini saya waktu menginap di sebuah hotel bintang lima, menyempatkan diri ke kolam renang. Hati-hati sekali masuk ke dalam air, takut tiba-tiba tenggelam. Tapi ternyata ilmu berenang itu masih utuh. Masih jago. Namanya saja alami.

Nah kekhawatiran yang sama timbul dengan kemampuan menulis pakai tangan. Saya pernah mencoba menulis dengan tangan, namun karena sudah terbiasa mengetik dengan cepat, maka waktu menulis dengan pena pun jadi cepat.

Hasilnya tulisan tangan itu sudah seperti cakar ayam, tidak terbaca dengan jelas. Kasihan sekali, padahal dulu, sebelum kenal komputer atau laptop, tulisan tangan saya tergolong indah dan bagus. Butuh waktu, kesabaran dan latihan banyak untuk kembali pada kemampuan semula menulis dengan tangan.

Maka kepada kita semua, sebaiknya jangan hanyut terus dan dimanjakan oleh kemajuan iptek ini. Tanpa sadar kemampuan alamiah kita telah disedot dan akhirnya suatu saat bisa hilang. Sangat penting untuk kembali menulis dengan tangan, untuk mempertahankan budaya tulis. Kita tentu tidak rela bila suatu ketika nanti generasi mendatang sudah bingung mendengar lagu lawas yang punya lirik: surat cinta, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun