Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Membahas Agama Lain dari Sisi Negatif

22 Juli 2018   18:23 Diperbarui: 22 Juli 2018   18:53 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Era reformasi pasca-Mei 1998, yang diharapkan membuat kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik, ternyata sungguh melenceng dari gambaran. Kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai buah dari reformasi tersebut, ternyata banyak yang kebablasan. Padahal, kebebasan yang kita inginkan adalah kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, berkumpul, menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan yang dianut. Memang semua hal yang disebut di atas sangat memprihatinkan di era Orde Baru yang serba otoriter. Yang namanya kebebasan pers misalnya, nyaris tidak ada di masa itu. Ada banyak surat kabar dan majalah yang terbit, namun semua di bawah kontrol pemerintah. Kalau ada berita yang nadanya mengkritik dan menyudutkan pemerintah, bisa dipastikan media tersebut akan tamat. Majalah Tempo dan surat kabar sore Sinar Harapan yang dibreidel--dicabut SIUPP-nya-- adalah contoh bagaimana rezim di masa itu tidak boleh diusik.

Untunglah di era reformasi, yang diawali dengan naiknya Prof Dr BJ Habibie sebagai orang nomor satu di negeri ini, keran kebebasan terbuka dengan lebar. Surat kabar dan majalah tidak lagi membutuhkan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Persuratkabaran). Siapa pun boleh mendirikan atau membuka usaha penerbitan atau media. Dan memang di awal era reformasi, hampir setiap hari ada saja media baru di pasaran: dari media yang bertema politik, ekonomi, agama, misteri, bahkan seks! Tapi tentu saja tidak semua bertahan. Hukum pasar juga yang akhirnya menyeleksi media mana yang bisa bertahan. Nyatanya dari ribuan atau mungkin  puluhan ribu media baru yang bermunculan, hanya beberapa biji yang bertahan. Hanya saja, yang namanya mengkritik dan mengecam kebijakan pemerintah tidak lagi menjadi momok bagi media. Tapi sebaiknya juga jangan asal menulis berita tanpa disertai data dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab apabila pihak yang merasa dikritik itu menuntut di pengadilan misalnya, ulah penulis bisa jadi bumerang.

Kebebasan mengeluarkan pendapat yang terasa kebablasan, menjadi salah satu dampak yang kurang baik. Dalam kehidupan agama misalnya, banyak orang atau kelompok yang merasa punya hak untuk menjadi "polisi" bagi orang lain yang tidak sekeyakinan dengan dirinya. Di era reformasi merupakan kejadian biasa apabila terjadi aksi demo menuntut penutupan sebuah tempat ibadah, yang padahal sudah ada di tempat itu sejak puluhan tahun silam. Euforia kebebasan membuat semua orang, terutama yang merasa dirinya dari kalangan mayoritas/mainstream, merasa punya hak melarang atau membatasi aktivitas  orang lain/minoritas . Entah sudah berapa ribu rumah ibadah yang ditutup paksa oleh masyarakat atau ormas, sementara aparat/pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.

Semakin ke kini, di zaman now, di mana teknologi informasi pun semakin mudah dan merata, komunikasi di antara sesama orang pun makin mudah dan luas. Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari kemudahan komunukasi ini. Namun yang membuat miris adalah dampak negatifnya yang justru lebih luas jangkauannya. Misalnya, dengan menyebar berita-berita bohong atau kalimat-kalimat yang sifatnya memprovokasi dan menyebar kebencian di medsos. Kalau orang sudah termakan isu sesat, apalagi yang menyangkut agama, heboh yang dihasilkan pun bisa berlangsung lama dan dalam skala luas. Akibatnya, ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat  pun jadi terganggu. Warga yang berbeda latar belakang agama, yang selama puluhan tahun hidup dalam kerukunan dan kedamaian di sebuah kampung atau kompleks perumahan, bisa menjadi renggang dan bermusuhan gara-gara hoax atau berita-berita bohong yang tersebar.

Dari sekian banyak hal, isu agama adalah yang paling "laku" dijual untuk menciptakan sesuatu "heboh" di sebuah masyarakat. Dalam pilkada dan pilpres seperti saat ini, banyak oknum yang tidak berperikemanusiaan dengan sengaja menggoreng isu agama untuk menjatuhkan kelompok lain. Isu agama memang sangat seksi dipakai untuk mempengaruhi orang lain. Sayangnya, isu agama itu digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, membenci orang lain yang berbeda keyakinan. Dan yang menjadi korban dan patut dikasihani adalah masyarakat awam yang tidak terlalu luas pemahamannya. Situasi yang kurang baik semacam ini, kalau dibiarkan terus berlarut-larut, taruhannya sangat besar. Relasi antarwarga menjadi runyam. Yang lebih mengerikan adalah apabila masyarakat terbelah, bermusuhan, dan saling memusnahkan. Jika sudah demikian, maka situasi chaos seperti belum lama terjadi di Irak, Suriah, dll., bukan tidak mungkin terjadi di negeri kita. Yang rugi dan menderita adalah rakyat sendiri, sebab kehilangan rasa aman, kehilangan tempat tinggal, kehilangan masa depan, dan segalanya. 

Pemerintah, dalam hal ini kementerian agama dituntut untuk memainkan peran dan kepeduliannya sehingga masyarakat tidak mudah terkecoh, tidak mudah terhasut, bahkan yang lebih penting tidak mau menjadi pelaku penyebaran hoax atau isu-isu yang memicu kebencian terhadap pihak lain. Maka apabila saya menjadi menteri agama, dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh medsos berbasis  teknologi informasi ini akan menjadi fokus saya yang utama. Sebagai menteri agama, saya akan meminta semua penceramah agama yang hendak mengisi sebuah acara, supaya selalu mengingatkan bahayanya penyebaran isu hoax yang berisi sentimen agama di medsos.  Dan tidak meneruskan (forward) apabila mendapat kiriman isu yang sifatnya hoax dan menyebar kebencian.  Demikian pula para guru agama supaya selalu mengingatkan para siswa mengenai bahaya isu agama yang dimainkan.

Kalau saya menteri agama, saya akan terus-menerus menyosialisasikan  pemahaman bahwa  agama itu ada untuk membuat damai, menyebar damai dan kasih sayang pada setiap orang yang adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Agama tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan pengikutnya untuk menyebar kebohongan dan membuat permusuhan dengan orang lain. Dan ini akan menjadi program kementerian agama, dan setiap hari disosialisasikan. Dan yang juga penting adalah saya akan membuat kebijakan bahwa seluruh penceramah agama TIDAK BOLEH menyampaikan khotbah yang sifatnya provokatif dan berpotensi menyebar kebencian. Penceramah agama dilarang membahas agama lain jika tujuannya untuk memancing antipati dari umat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun