Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keliru Memahami Agama, Tebar Ketakutan

23 Mei 2018   15:21 Diperbarui: 23 Mei 2018   15:35 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dianaswednesday.com

Beberapa dekade silam, menjelang berakhirnya tahun 80-an, menuju tahun 90-an, negeri kita ini begitu aman dan damai. Tapi jangan buru-buru mengatakan itu karena si Anu yang sedang menjadi presiden, sehingga zaman itu "enak". Bukan! Faktor yang paling utama ketika itu adalah penganut agama yang beraliran ultra-konservatif, yang kelak dituding sebagai pelaku teror bom di mana-mana, belum berani muncul terang-terangan.

Yang namanya teroris bom, dari yang memasang bom di suatu tempat dan meledakkannya, atau melilitkan bom di tubuhnya kemudian meledakkannya, belum populer kala itu. Ancaman-ancaman bom pada suatu tempat, terutama kepentingan orang asing belum banyak terjadi. Sehingga, kalau memasuki kedutaan besar negara-negara Eropa yang ada di Jakarta, tidak ada penjagaan atau pengamanan ketat. 

Misalnya sebuah kedubes negara Eropa di kawasan Kuningan Rasuna Said. Pada hari-jam kerja, pintu gerbangnya tidak pernah ditutup. Gerbang itu terus dibiarkan menganga. Kalau misalnya ada truk raksasa masuk ke halaman kedubes itu pun tidak ada yang heboh. Petugas keamanan yang punya pos jaga di samping pintu gerbang itu, seharian hanya duduk-duduk saja.

Orang-orang pun bebas lalu-lalang masuk ke gedung perpustakaan di kedubes itu. Hanya mengisi tanda hadir di buku tamu, lalu memilih buku atau bahan bacaan lain. Penjagaan yang agak ketat baru terlihat di kantor utama, tempat duta besar ngantor. Itu pun hanya diladeni seorang petugas satpam yang minta tanda pengenal ditinggalkan di meja resepsionis.

Namun beberapa tahun kemudian, ketika teror bom melanda di berbagai dunia, menyusul makin menguatnya gerakan radikalis agama di mana-mana, kantor-kantor asing pun terutama negara Barat/Eropa dijaga super-ketat! Pintu gerbang tertutup rapat 24 jam, kecuali memang dibutuhkan untuk dibuka. Masuk ke perpustakaan tidak lagi bebas melenggang, namun harus melewati pintu yang dipasangi rintangan. Itu pun setelah melewati satpam yang "curiga", dan alat detektor. Singkatnya, situasi dan kondisi tidak lagi sama dengan dahulu. Sangat beda dengan suasana dalam lagu Pance Pondaag yang dibawakan Dian Pisesha tahun 90-an: Aku masih seperti yang dulu...

Terorisme membuat semua berubah! Dunia semakin menakutkan saja. Tiada hari tanpa kejadian yang membuat ciut nyali kita sebagai manusia yang ingin hidup damai. Pertikaian berdarah di berbagai belahan bumi tidak pernah berakhir. 

Aksi-aksi kekerasan merebak di mana-mana. Nyawa manusia seperti tidak berharga sama sekali. Dan yang lebih menyedihkan ketika sebagian besar peristiwa yang membuat hati miris itu dilatarbelakangi agama. Sungguh  ironis, ajaran agama yang mestinya membuat penganutnya memiliki hati yang lemah-lembut, pewarta kasih, pembawa damai, justru ada yang berubah menjadi monster penyebar teror. Agama pun menjadi sesuatu yang menakutkan.

Semua agama mengklaim sebagai pembawa damai, penganjur kasih, menghargai perbedaan, menghormati sesama manusia. Dan klaim ini bisa dibuktikan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam setiap buku suci agama mana pun. Namun seringkali kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sunguh berbeda. Sekelompok massa dengan mengatasnamakan agama bisa dengan mudah mengganggu bahkan menghalangi orang lain beribadah. 

Berdalih menjaga kesucian bulan puasa, sekelompok orang tega merampas dan menjungkirbalikkan dagangan orang yang membuka warung di siang hari. Alasan mereka, warung yang terbuka itu mengusik kekhusukan orang yang sedang menjalankan puasa. Padahal, siapa yang bisa menjamin kalau oknum aparat yang bertindak galak itu betul-betul sedang berpuasa?

Namun begitulah yang terjadi apabila orang-orang menganggap kalau puasa itu hanya soal tidak makan dan tidak minum. Mereka tidak memahami bahwa ada hal yang lebih besar dan mulia dari sekadar berpantang makan dan minum sepanjang hari. Dengan berpuasa, seseorang dididik untuk juga mampu menahan emosi, mengendalikan amarah, menundukkan nafsu.

Maka seyogianya, apabila seseorang yang sedang menjalankan ibadah puasa menemukan hal-hal yang menurutnya "salah", hendaklah dia dengan bijaksana dan sabar mengingatkannya. Sebab bila seseorang itu benar-benar beriman, dia harus memiliki rasa sabar dan kasih terhadap semua orang. Ingat, puasa itu juga mengendalikan emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun