Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memanjakan Anak adalah Racun

22 Februari 2018   11:41 Diperbarui: 22 Februari 2018   12:01 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BANYAK orang tua yang suka memanjakan putra-putrinya secara berlebihan. Perlakuan seperti ini sepertinya sudah lazim di kalangan keluarga yang berkecukupan, apalagi berlebihan (the haves). Pemanjaan itu misalnya, tidak memperbolehkan putra-putrinya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti: memasak, mencuci, menyapu, mengepel, dan sebagainya.

Dan ini sudah dibiasakan semenjak anak masih kecil. Bahkan ada orang tua yang secara ketat melarang anak-anaknya memegang sapu. Semua pekerjaan rumah biar pembantu rumah tangga (PRT) yang melakukan. Anak-anak tinggal memberi perintah kepada "si Mbak" saja apabila ada yang perlu dibereskan di rumah.

Umumnya, masyarakat kita menganggap pemanjaan ini sebagai wujud dari rasa sayang. Benarkah? Dengan tegas kita harus mengatakan: Tidak! Sebab kalau diteropong jauh, memanjakan anak-anak itu, apalagi secara berlebihan, tidak selalu baik. Mengutip istilah: lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. Memang tak ada yang akan meragukan cinta kasih dan rasa sayang orang tua kepada anak-anaknya. Mati pun, orang tua rela untuk membela anak-anaknya. Namun orang tua yang tidak rela melihat anaknya berkeringat saat mengepel lantai rumah misalnya, jelas suatu sikap yang tidak bagus.

Zaman now, sudah merupakan pemandangan biasa apabila kita sedang jalan-jalan ke mal, ada papa atau mama tua yang turut membawa anak kecil atau anak balitanya shopping di mall. Keluarga menghabiskan waktu santai bersama di mal, itu bagus. Papa, mama, sambil bergandengan tangan berjalan bersama di keramaian yang berhawa sejuk dan bersih. Wuihhh bahagianya!

Namun, sangat tidak bagus apabila anak-anak kecil yang sehat dan sudah kuat berjalan itu dimasukkan ke kereta dorong. Yang mendorong, mungkin papa, mama, opa, oma, atau si Mbak. Sang anak di dalam kereta dorong memang terlihat merasa senang, aman, nyaman dan damai. Tetapi, sekali lagi, apakah itu suatu wujud kasih sayang yang sejati? Jawabnya: Tidak! Bahkan sebenarnya, kita sedang memberikan racun kepada putra-putri yang dengan sengaja kita manjakan secara berlebihan tersebut.

Bila anak sudah kuat berjalan, alangkah baiknya dia digandeng saat melangkah bersama kita. Atau paling bagus anak balita yang sudah bisa melangkah itu dilepaskan dan membiarkannya berjalan sendiri, namun tidak jauh-jauh dari orang tuanya, dan tentu saja di bawah pengawasan yang sangat ketat. Bila masih bayi dan belum bisa berjalan, memang harus digendong atau dimasukkan ke dalam kereta.

Dengan memanjakan anak sejak kecil, kita telah menghalangi dia untuk kreatif. Kita telah mendidik anak untuk malas, tidak mandiri. Kita telah membatasi gerak anak, bahkan memenjarakan kepribadiannya. Atau lebih ekstrem lagi, kita telah melilitkan bom waktu ke tubuh anak. Sebab kalau suatu ketika sang anak berada di luar rumah, bisa jadi dia akan kebingungan untuk mengurus dirinya sendiri karena sudah terbiasa dilayani keperluannya.

Contoh sederhana: Ada seorang anak balita yang sejak bayi sangat dimanjakan oleh bapaknya. Sebut saja namanya si Manjo. Si Manjo ini, sejak mulai belajar merangkak, bahkan tidak dibolehkan oleh bapaknya mengambil sendiri mainannya yang terlempar beberapa sentimeter darinya. Karena sudah biasa diambilkan bapaknya, maka si Manjo hanya menangis apabila mainannya lepas dari tangannya dan terletak agak jauh dari jangkauannya. Tak ada usaha dia untuk merangkak mengambilnya.

Suatu ketika, Manjo dibawa mamanya kondangan ke rumah sanak famili. Di sana ada banyak anak-anak sebayanya, bermain-main dengan riang. Ketika mobil-mobilan si Manjo menerobos kolong sofa, dan menjauh  dari jangkauan, si Manjo kebingungan, sebab biasanya ada bapaknya yang akan bertindak mengambilkannya untuknya. Si Manjo yang sudah terbiasa mengadu dan memanggil bapaknya untuk mengambil mainan, hanya bengong. Untungnya, Manjo masih punya rasa malu untuk menangis atau memanggil bapaknya yang sedang asyik mengobrol. Hal yang kontras terjadi dengan anak-anak lain, yang dengan gesit meloncat, menggeser meja, memanjat sofa, atau merangkak masuk kolong untuk mengambil mainan mereka yang bergerak di luar kendali.

Kisah si Manjo ini nyata adanya. Tentu ada banyak kejadian lain yang serupa. Maka janganlah memanjakan anak secara berlebihan. Sekilas kita memang melihat dia bersukacita, namun hati kecilnya bisa jadi menghiba: "Papa, Mama, jangan beri aku racun!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun