Mohon tunggu...
Hans Joseph Himawan
Hans Joseph Himawan Mohon Tunggu... Programmer - Siswa

Ekonomi, Politik, Teknologi, Debat, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Mobil Listrik: Bukan Solusi Utama untuk Polusi Global

16 November 2024   17:30 Diperbarui: 16 November 2024   17:49 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil Listrik (U.S. Department of Energy)

Mobil listrik tengah menjadi tren global. Dengan nilai pasar yang mencapai $500 miliar pada 2023 dan berbagai merek besar seperti Tesla, Hyundai, dan BYD berlomba-lomba memproduksinya, kendaraan ini sering dianggap sebagai penyelamat lingkungan. Tentunya mobil listrik menawarkan sejumlah manfaat. Namun, menggantungkan masa depan pada mobil listrik sebagai solusi tunggal untuk polusi global adalah pendekatan yang kurang tepat. Mari kita telusuri beberapa alasan di balik pernyataan ini.

Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil

Meskipun mobil listrik tidak menghasilkan emisi langsung dari knalpot, energi yang digunakan untuk mengisi daya baterainya masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Saat ini, pembangkit listrik dunia sebagian besar masih mengandalkan batu bara (35%) dan gas alam (22,46%). Jika kendaraan di seluruh dunia beralih ke listrik, permintaan energi pastinya akan melonjak. Sayangnya, tanpa transisi yang cepat ke energi terbarukan, peningkatan ini justru akan memperburuk polusi, memindahkan emisi dari jalan raya ke daerah pembangkit listrik. Dengan kata lain, mobil listrik hanya mengalihkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Produksi Baterai yang Merusak Lingkungan

Baterai mobil listrik menjadi inti dari kendaraan ini, tetapi proses produksinya memiliki dampak lingkungan yang besar. Penambangan bahan baku seperti lithium dan nikel menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi. Untuk setiap ton lithium yang ditambang, 15 ton karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer. Selain itu, pembuatan baterai membutuhkan suhu hingga 1.000 derajat Celsius, yang saat ini hanya dapat dicapai dengan membakar bahan bakar fosil.

Sebagai contoh, baterai Tesla Model 3 dengan kapasitas 80 kWh menghasilkan hingga 16 ton CO2 selama proses pembuatannya. Angka ini setara dengan emisi kendaraan berbahan bakar bensin selama bertahun-tahun. Tambang nikel di Sulawesi, misalnya, telah membuka lebih dari 200.000 hektar lahan untuk ekstraksi, yang berdampak besar pada ekosistem lokal.

Limbah Baterai yang Sulit Dikelola

Baterai mobil listrik tidak bertahan selamanya. Setelah sekitar delapan tahun, baterai ini menjadi limbah yang sulit dikelola. Mereka mengandung bahan beracun seperti lithium, nikel, dan kobalt yang membutuhkan teknologi khusus untuk didaur ulang. Sayangnya, teknologi ini mahal dan belum tersedia secara luas. Akibatnya, banyak baterai berakhir di tempat pembuangan akhir sehingga berpotensi menyebabkan kebakaran besar dan mencemari lingkungan.

Masalah limbah ini diperburuk oleh kurangnya infrastruktur daur ulang di banyak negara, menjadikan mobil listrik tidak sebersih yang sering dipromosikan.

Memindahkan Polusi, Bukan Menghilangkannya

Salah satu manfaat utama mobil listrik adalah mengurangi polusi udara di kota-kota besar. Namun, ini hanya memindahkan masalah ke daerah pinggiran kota atau lokasi tambang. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan tambang nikel menjadi sumber polusi baru yang sering kali tidak terlihat oleh masyarakat perkotaan. Lingkungan lokal di daerah-daerah ini mengalami kerusakan besar, baik dari polusi udara maupun penurunan kualitas tanah dan air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun