Mohon tunggu...
Hans Giovanny
Hans Giovanny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Taliban dan Krisis Pengungsi

27 Agustus 2021   16:40 Diperbarui: 27 Agustus 2021   17:44 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu kahwatir dengan dampak dari "kebangkitan" Taliban di Afghanistan. Secara tidak langsung Fadli Zon merespon pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengatakan bahwa Taliban harus diwaspadai karena dapat menginspirasi gerakan Islam radikal di Indonesia untuk melancarkan aksi. 

Melalui Channel YouTube nya Fadli mengatakan bahwa Taliban kini telah mengambil pendekatan yang berbeda, bahwa Taliban tidak lagi menggunakan pendekatan bersenjata dan kekerasan seperti kelompok Mujahidin saat melawan Uni Soviet dan Taliban tidak memiliki interest seperti kelompok teroris macam Al-Qaeda dan ISIS. (pernyataan Fadli Zon dapat dilihat di Taliban di Mata Fadli Zon). Namun Fadli melupakan beberapa hal penting. 

Pertama tidak semua orang memiliki pandangan yang sama dengannya, silakan lihat kolom komentar pada unggahan video di channel Fadli Zon tersebut, beberapa warganet menyatakan bahwa kemenangan Taliban adalah awal mula kebangkitan Islam di akhir zaman. Jika framing berpikir seperti itu benar, maka pernyataan Said Aqil Siradj tentang potensi bangkitnya gerakan radikal yang terinspirasi dari Taliban bisa jadi ada benarnya, tapi kedua, masalah yang kini terjadi di Afghanistan bukan hanya soal bagaimana pengaruh Taliban kepada kelompok radikal dan konfigurasi politik dalam negeri Afghniastan tetapi juga menyebabkan kemungkinan timbulnya refugee influx yang baru. 

Masalah kedua tersebutlah yang ingin penulis bahas, masalah tersebut juga tampaknya luput dari diskusi-diskusi mengenai Afghanistan di media massa arus utama di Indonesia dan politisi, akdemisi serta tokoh agama. Tentu tidak ada yang salah dengan mendiskusikan bagaimana masa depan hubungan antara Indonesia dengan Afghanistan jika Taliban mengambil alih pemerintahan, juga pembahasan mengenai kondisi HAM khususnya hak perempuan di bawah rezim Taliban serta konstelasi politik yang akan terjadi juga sangat penting, namun masyarakat internasional tidak boleh luput akan masalah nyata terkait gelombang pengungsi yang dalam waktu dekat penulis yakini akan segara menjadi masalah baru.

Kini ribuan orang telah berkumpul di Bandar Udara Hamid Karzai Kabul menunggu untuk segera diterbangkan keluar dari Afghanistan, kemarin di tengah ribuan orang yang berkumpul di sana, sebuah bom meledak dan melukai puluhan orang serta menelan beberapa korban jiwa. 

Disamping itu ratusan orang telah keluar dari Afghanistan melalui jalur darat ke negara tetangganya yaitu Pakistan. Merujuk pada Konvensi Pengungsi 1951, orang yang keluar dari negaranya karena takut akan persekusi yang mungkin terjadi dan untuk menyelamatkan nyawa mereka dikategorikan sebagai pengungsi yang wajib mendapatkan perlindungan, masalahnya adalah hingga hari ini masyarakat internasional masih "kewalahan" menghadapi gelombang pengungsi dari negara-negara seperti Suriah, Somalia, bahkan Afghanistan sendiri. 

UNHCR mencatat setidaknya ada lebih dari 80juta orang yang dikategorikan sebagai pengungsi atau asylum seeker di dunia per 2021, dan masih sangat banyak dari mereka yang hingga kini belum jelas nasibnya.

Mari kita sejenak melihat masalah utama yang kini dhadapi pengungsi. Ada dua Konvensi yang mengatur pengungsi, Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Bagi 'negara anggota' atau negara yang telah meratifikasi dua konvensi tesebut mereka wajib menerima pengungsi di negara mereka, dan bagi pengungsi yang telah diterima wajib diberikan hak yang sama dengan warga negara, masalahnya adalah tentu saja penerimaan terhadap pengungsi tidak berlangsung dengan sederhana ada prosedur yang harus dilewati dan seringkali memakan waktu yang sangat panjang, lebih lanjut para pengungsi biasanya tidak langsung 'sampai' ke negara tujuan mereka, misal pengungsi dari Afghanistan yang ingin pergi ke Australia biasanya akan 'transit' terlebih dulu di Malaysia atau Indonesia untuk menunggu proses administrasi diselesaikan oleh UNHCR dan Australia. 

Proses transit ini seringkali berlangsung sangat lama bahkan hingga 7-10 tahun, tidak heran banyak pengungsi Afghanistan yang beberapa waktu lalu melakukan demonstrasi di Jakarta menuntut segera diberangkatkan ke negara tujuan. Pertanyaannya adalah mengapa mereka tidak diterima di Indonesia saja? Jawabannya karena Indonesia bukan negara anggota dari Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia tidak pernah meratifikasi Konvensi pengungsi 1951 karenanya Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi dan hanya menjadi negara transit untuk sekedar 'menitip' para pengungsi sebelum mereka diberangkatkan ke negara tujuan. 

Bagi pembaca yang belum paham, kehidupan di negara transit tidak akan sebaik negara tujuan, karena negara transit tidak dibebankan kewajiban untuk memberikan para pengungsi hak yang setara dengan warga negara, itu artinya para pengungsi di Indonesia misalnya tidak boleh bekerja, tidak berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan WNI dan tentu saja tidak boleh menikah dengan warga lokal. Kini bayangkan jika kondisi ini mereka alami selama bertahun-tahun.

Masalah bagi pengungsi tidak berhenti disana, kalaupun mereka sudah sampai ke negara tujuan ada masalah lain yang menghantui. Di banyak negara 'penerima' pengungsi khususnya di Eropa dan Amerika bagian Utara (AS dan Kanada) kini berkembang dengan pesat kelompok-kelompok dan partai politik sayap kanan ultra-nasionalis, mereka dengan keras menolak hadirnya pengungsi karena menganggap bahwa para pengungsi adalah penyebab ekonomi dalam negeri mereka carut marut dan merasa bahwa para pengungsi mengambil lapangan pekerjaan yang seharusnya disediakan bagi warga negara asli. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun