Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguak Bento Dibalik Asap

30 Oktober 2015   21:12 Diperbarui: 30 Oktober 2015   21:53 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Note: Alat Pengukur Polusi Hibah Dari Singapore.

Bermula dari proyek sejuta hektar lahan-nya Soeharto dan masuknya perusahaan-perusaan tambang dan sawit, kalimantan yang dikenal dunia dengan nama BORNEO menjadi langganan "kebakaran hutan".  Setiap tahun sejak 1997 Kalimantan selalu mengalami bencana asap.  Yang paling parah 1997, 2006, dan sekerang 2015 karena El-Nino yang berkepanjangan.  Dan semua derita masyarakat Kalimantan itu menjadi semakin menyakitkan di masa ini, karena politisasi bencana asap dibuat lelucon oleh para pemimpin DPR yang bermasker di sidang terhormat wakil rakyat di Senayan (DPR dianggap Politisisasi Bencana Asap).  

Masalah asap di Kalimantan khususnya secara jelas adalah dikarenakan mismanagement antara pemerintah dimasa lalu dan ratusan perusahaan besar dan kecil di Kalimantan.  Membuka lahan dengan cara dibakar jelas lebih gampang daripada menggunakan alat berat, dan lebih murah.  Sebab itu, lobby-lobby perusahaan yang akhirnya di jadikan peraturan dilevel gubernur membuat "asap Kalimantan" bisa dikatakan sebuah skandal level nasional.

Aktifis #MelawanAsap yang kebetulan adalah teman pena penulis, Emmanuela Dewi Shinta yang adalah orang asli Kalimantan, Dayak, dan tergabung dalam Dayak Bersuara menyatakan dalam kontak lewat BB dan Telpon bahwa case orang-orang Dayak di Kalimantan mirip dengan Papua. "Orang Dayak beserta alam yang kami miliki ini dijajah, dieksploitasi, dibodoh-bodohin", kata Shinta. Transmigrasi dari Jawa ke Kalimantan juga membuat orang-orang Dayak tidak menjadi tuan ditanahnyanya sendiri.

10 tahun terakhir, Gubernur Teras Narang sebenaranya adalah presiden dari masyarakat adat dayak nasional, tapi apa lacur.  10 tahun terakhir hampir tidak ada perubahan.  Bahkan, sekedar "alat pengukut" polusi asap saja, pemda setempat belum tentu punya, demikian Shinta berapi-api mengatakan.  Shinta dibantu dari Big Red Button dari Singapore sebuah alat pengukur polusi.  Dan lebih konyolnya, alat itu mau disewa karena tidak banyak, atau tidak ada yang memiliki.  (Cek Facebook Page di : PAQ - Palangkaraya Air Quality).

***

Diamnya Gubernur, Walikota, dan begitu pekatnya bau politisasi DPR sudah selayaknya menjadi momentum yang tepat.  Atau dalam bahasa Yunani, KAIROS atau waktu Tuhan untuk membongkar secara tuntas masalah asap ini.  Ijin-ijin konsesi sawit sejak jaman Suharto yang mencapai 78% dari 15,3jt ha harus ditinjau ulang lagi.  Borneo yang adalah "paru-paru" dunia karena hutan-hutannya sedang menderita kanker paru-paru.  Pemeriksaan menyeluruh dan perubahan total kebijakan di Kalimantan harus dilakukan.  Ini waktunya!

Dengan masifnya jumlah perusahaan, dan banyaknya pemain-pemain politik yang bisa tersangkut di masalah asap di Kalimantan, memang harus ditangani secara hati-hati.  Pelawak-pelawak Senayan mencoba mengeruhkan suasana yang membuat rakyat menjadi semakin mengerti betapa jahatnya para politisi ini.  Mereka tidak perduli rakyat, mereka hanya menggunakan isu untuk kepentingan diri sendiri.  Semakin benar kata Iwan Fals, "Awas ada Bento!"

 

Bento yang melakukan pembiaran selama ini.

Bento yang alat pengukur polusi saja mau sewa dari relawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun