Mohon tunggu...
Dimas Putut Marsanto
Dimas Putut Marsanto Mohon Tunggu... Sales - Abdi Kehidupan

Peminat dan Penikmat Sastra, Budaya, Film, Arsitektur dan Perencanaan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran Tanpa Mudik

18 April 2021   13:16 Diperbarui: 23 Juli 2021   11:26 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandemi masih berjalan dan gelagatnya masih membutuhkan waktu cukup lama untuk purna. Menunggu memang menyebalkan bagi beberapa insan namun memberi berkah pelatihan kesabaran ke sebagian lainnya. Dan di Ramadhan ini, kesabaran mendapatkan nilai lebih tantangan khususnya bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa..Menjadi kelaziman pada bulan-bulan puasa di negeri ini orang-orang sudah memulai untuk bermaafan lebih dulu, mamak dan bunda sibuk mengisi dapur -dengan bahan pokok dan penganan, anak merengek dengan hal-hal kebaruan yang seolah layak menjadi jatah dan seterusnya. Alur kehidupan seperti ini tersua di hampir seluruh pranata keluarga yang ada di Indonesia. Puncak dari perjalanan kehidupan berpuasa sebulan kancap oleh batih akan dipungkasi dengan mudik ke kampung halaman.Namun iringan ritual Ramadhan dan Lebaran tahun ini sepertinya harus absen dengan mudik selain dikarenakan pandemi masih berwujud, pemerintah pun secara normatif telah meniadakan denyut kegiatan mudik dengan pijakan dari kejadian tahun lalu dimana ketika waktu libur berhampiran maka sulit dihindari orang-orang untuk berhimpun yang berbuah kerumunan. Kerumunan diakui bersama merupakan wadah terbaik penularan virus Covid19.Meski elemen-elemen dan ikon modernitas menaungi dengan rapat tiap sendi kehidupan manusia kini tetapi niatan dan bayangan mudik masih lemah untuk terusir dalam nala. Dua dekade ini kemodernan membuat jarak yang jauh terasa dekat berkat video call, namun komunikasi maya nyatanya tak mampu mengalahkan perjumpaan secara jasmani. Konon kerinduan dan hasrat serta jalinan spiritualitas dan budaya sebagai cerminan emosi rasa kasih terhadap orang yang disayangi --keluarga- yang mendorong kehendak mudik sehingga pilihan rasional sebagai manusia modern yang memaksimalkan kegunaan dan mengagungkan efektivitas dan efisiensi terkalahkan.Sebagai individu, aturan-aturan pemerintah sebagai rule of the game dalam ber-warganegara tentu tak patut untuk dilanggar. Menahan dan menguatkan diri dari tarikan gravitasi kampung halaman menjadi syarat untuk membuang jauh kekecewaan urungnya mudik di tahun ini. Memahami fakta dan kondisi sosial tersebut layak untuk dilakukan pemikiran ulang akan makna mudik agar hidup ini tak terjerat acap kali Ramadhan menjelang pungkas. Meniadakan laku mudik tak akan membuat diri serta keluarga Kita teralienasi oleh tetangga. Pengingkaran terhadap giat mudik bukan berarti pula penyangkalan atas tradisi.Dalam tilikan umum, isitilah mudik bermakna "pulang ke kampung halaman". Pandangan ini kiranya terwaris dari khasanah budaya leluhur. Konon ketika imperium Majapahit berada di era jayanya dan memerintah hingga Laos dan Myanmar, banyak pejabat-pejabat yang ditugaskan sebagai duta kerajaan --mungkin mirip diplomat. Mereka pun melakukan "mudik kembali ke tanah Jawa" pada satu saat tertentu. Dalam agama Islam sendiri, mudik dengan segala modanya tak pernah terperi dan terperintahkan. Agama justru memalarkan agar kita lebih menghayati lagi aktivitas selama berpuasa dengan peningkatan tahlil, tahmid, tagdis serta pengeluaran zakat.Mudik sebagai suatu pergerakan sosial merefleksikan denyutan kosmos. Dalam teologi kosmos, manusia akan selalu melakukan pencarian terhadap suatu titik Zat yang menciptakannya. Sejauh apapun sempalan hidup seorang manusia pada satu pangkal akan selalu kembali kepada Sang Khalik. Dalam pemahaman ini mudik menjembatani manusia pada esensi dan terjemahan mengenai permulaan dan pengakhiran. Karena permulaan diawali dari sesuatu yang suci maka pengakhiran pun juga harus diselimuti dengan kesucian pula.Lantas laku perangai apa yang seyogyanya dilakukan untuk menemukan kesucian tersebut? Sahutannya adalah kembali pada esensi selama bulan Ramadhan itu sendiri yakni puasa. Berpuasa yang perkataannya tak hanya untuk menahan diri dari makan dan minum namun lebih dari itu membendung pancaran gelora dan nafsu. Berpuasa yang diawali dari niat beserta sisipan keikhlasan, ketulusan dan komitmen niscaya menghasilkan kemurnian. Kemurnian yang akan menduplikasi dan mengimpresi sel-sel dalam tubuh Kita. Pasca berpuasa timbul dan tersalin produk dari nilai rohani yang diharapkan mencengkeram seluruh tindak tanduk kejasmanian Kita menjadi terkelola. Di tahapan ini interpretasi atas "mudik" bertranformasi secara serius dan gagah. Mudik dalam haluan ini menyuluh manusia pada hakikat bernapas dan hidup. Manifestasi dan runtunan mudik seperti ini yang diharapkan oleh segenap. Berani mengartiulangkan makna mudik pada diri masing-masing merepresentasikan takzimnya kita kepada Pencipta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun