Mohon tunggu...
Hanna Chandra
Hanna Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

Bernafaslah selagi gratis, tersenyumlah selagi tiada larangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inti Masalah Penyebab Kerumitan Kasus Pembunuhan Mirna: Adanya “Loncatan Scientific”

21 September 2016   11:13 Diperbarui: 18 September 2017   02:34 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persidangan Kasus Pembunuhan Mirna / sumber kompas.com

Persidangan kasus pembunuhan Mirna semakin hari semakin menarik, menantang, dan mungkin juga semakin membosankan dan membingungkan bagi sebagian masyarakat. Apalagi media saling berlomba bukan hanya menayangkan secara langsung (live) tapi juga memaparkan hasil analisa dan kesimpulan berdasarkan pendapat para ahli yang dihadirkan sebagai pembanding. Sebenarnya, kesaksian pihak manakah (JPU vs PH) yang harus menjadi titik acuan: Apakah Jessica sebagai terdakwa tunggal adalah pelaku sesungguhnya atau bukan?

Pada babak pertama pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menampilkan para saksi dan saksi ahli yang mengarah bahwa kematian Mirna karena kopi bersianida yang diminum korban, sebagai penyebab kematian seketika. Sementara Penasihat Hukum (PH) menelusuri misteri kematian Mirna bukan berawal dari adanya bubuk sianida di cangkir kopi yang diminum Mirna, tetapi dari bukti sisa sianida hasil pengambilan sampel cairan lambung Mirna. Mengapa perdebatan antara pihak JPU dan pihak PH seperti tidak ada titik temu?

Yang jadi masalah, ada proses yang hilang (tak diketahui) di antara yang awal (kopi bersianida) dan akhir (sianida di lambung korban). Proses yang hilang itu disebabkan oleh karena dilakukannya embalming sebelum pengambilan sampel (berupa cairan dari lambung, hati, liver, empedu, dan urine) dari tubuh korban. Di dalam lambung Mirna ditemukan korosi atau luka, selain ditemukan 0,2 miligram sianida yang masih tersisa.

Dilakukannya embalming ini membuat munculnya berbagai macam kemungkinan yang pasti tidak akan sesuai dengan textbook (literatur) karena terjadinya proses kimiawi yang berkaitan dengan penerapan embalming tsb. Itulah yang membuat sudut pandang dari awal yaitu adanya sianida di cangkir kopi Mirna dengan penelusuran akhir (sianida yang dilambung Mirna) menjadi tidak bisa bertemu.

Karena tidak dilakukan otopsi sebelum proses embalming, mau tidak mau harus ada penafsiran yang menjembatani perbedaan antara penelitian yang utama dari awal dan hasil akhir. Itulah yang dilakukan oleh tim ahli dari JPU. Sedangkan pemaparan yang diberikan para ahli dari PH bermula dari hasil sampel pascaembalming (sisa sianida di lambung) tanpa pertimbangan bahwa sudah ada perubahan signifikan yang terjadi saat dilakukannya embalming. Siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan ini?

Apa yang dikemukakan oleh Dr. Djaja sendiri sebenarnya aneh: Mengapa Dr. Djaja  menghendaki dilakukannya embalming, padahal beliau membuat SOP (Standard Operating Procedure) bahwa embalming tidak boleh dilakukan sebelum proses otopsi untuk kematian yang tidak wajar. Saya tidak mengerti motivasi Dr. Djaja dalam hal ini. Kalau kita memikirkan lebih lanjut, bisa saja justru dokter yang melakukan embalming berpotensi (telah) menghilangkan barang bukti. Bandingkan dengan penjelasan ahli lain (Dr. Ferryal Basbeth) berikut;

  

Pertarungan antara pihak JPU dan PH dengan saksi masing-masing berlangsung amat seru, menegangkan, dan membingungkan, apalagi bagi mereka yang hanya mengikuti kasus ini sepotong-sepotong. Bila kita memperhatikan keterangan para saksi ahli, kita akan melihat bahwa para saksi ahli yang memberatkan Jessica merunut kasus ini dari depan (yaitu dari adanya sianida di cangkir kopi yang diminum Mirna), secara menyeluruh (memperhatikan seluruh peristiwa), dan didukung oleh saksi-saksi fakta yang meyakinkan. Sebaliknya, para saksi ahli yang membela Jessica melihat kasus ini dari belakang (yaitu dari hasil sampel lambung yang menunjukkan sedikitnya kandungan sianida yang ditemukan di lambung Mirna), secara parsial (dicomot hanya per bagian tertentu), dan didukung oleh saksi fakta yang kualitas kesaksiannya meragukan.

Contoh pertama, wajar atau tidaknya (kelaziman) peletakan paperbag di atas meja tergantung dari berbagai hal. Jika didasarkan pada pertimbangan dari depan, bahwa kopi yang diminum Mirna ternyata beracun sianida dan peristiwa keracunan terjadi setelah paperbag diletakkan di atas meja, wajar saja bila kedua peristiwa itu dikaitkan (mengacu pada keterangan saksi ahli psikolog JPU). Akan tetapi, bila peletakan paperbag di atas meja tidak dikaitkan dengan peristiwa keracunan, tentu saja peletakan paperbag itu tidak perlu dicurigai, wajar-wajar saja/lazim (berdasar pada keterangan saksi ahli PH).

Contoh kedua, bila kita memperhatikan para saksi fakta yang dihadirkan oleh JPU, para saksi itu bersaksi secara wajar dan sinkron dengan bukti CCTV. Akan tetapi, bila kita memperhatikan kesaksian direktur pemasaran KIA Mobil Hartanto Sukmono, yang dihadirkan oleh PH, jelas kita menemukan kejanggalan karena saksi fakta tersebut dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang terjadi di meja Jessica, tidak peduli adanya keramaian situasi dan kondisi pasca Mirna kolaps. Dia juga tidak dapat mensinkronkan (adanya kesesuaian) kesaksiannya dengan rekaman CCTV. Dengan kata lain, kesaksiannya bisa jadi didukung oleh perasaan, bukan oleh fakta.

Saat melihat pertarungan yang seperti tanpa ujung itu, kita sering melupakan bahwa penyebab kerumitan adalah peristiwa yang terjadi di tengah, yaitu dilakukannya proses embalming sebelum otopsi dilakukan. Menurut pedoman pelatihan yang diberikan oleh Dr. Djaja kepada tim forensik (saya temukan artikel Dr. Djaja tentang tata cara embalming, bisa lihat di sini), proses embalming terhadap kematian yang tidak wajar (belum diketahui sebabnya) tidak boleh dilaksanakan sebelum otopsi dilakukan.

sumber blogspot Dr. Djaja
sumber blogspot Dr. Djaja
sumber blogspot Dr. Djaja
sumber blogspot Dr. Djaja
Yang aneh, Dr. Djaja sendiri yang melakukan embalming terhadap jasad Mirna (tanya, “Mengapa begitu Dok?”). Menurut Dr. Djaja, proses embalming itu merupakan suatu dilema yang terpaksa dia lakukan karena pihak keluarga Mirna tidak mengizinkan dilakukannya otopsi dan mayat Mirna akan segera membusuk (setelah lewat 24 jam) bila tidak di embalming. Yang aneh (lagi), karena Dr. Djaja adalah seorang ahli yang sungguh-sungguh paham bahwa embalming tidak boleh dilakukan sebelum otopsi dilaksanakan, mengapa Dr. Djaja tidak lebih dulu mendesak pihak kepolisian untuk meminta pihak keluarga mengizinkan dilakukannya otopsi?

Bila Dr. Djaja—yang sungguh-sungguh mengerti bahwa otopsi itu diperlukan—bersedia meluangkan waktu untuk menjelaskan secara panjang lebar terhadap pihak keluarga tentang perlunya otopsi, apakah pihak keluarga Mirna benar-benar akan tetap menghendaki dilakukannya proses embalming? Bukankah dengan mengizinkan dilakukannya proses embalming, pihak keluarga melepas kemungkinan pengusutan kasus kematian Mirna ini sampai clear?

Dengan dilakukannya proses embalming sebelum otopsi, yang akhirnya hanya parsial (berupa pengambilan sampel), maka para ahli terpaksa melakukan “loncatan scientific” untuk menafsirkan penyebab kematian Mirna. Penafsiran penyebab kematian Mirna ini saya sebut sebagai “loncatan scientific” karena kita tidak tahu proses apa yang terjadi dalam jasad Mirna saat proses embalming dilakukan dan seberapa besar berpengaruhnya reaksi kimiawi pada tubuh korban akibat masuknya cairan formalin tsb?

Untuk bisa menafsirkan “loncatan scientific” yang terjadi, kita harus mengerti cairan apa saja dan berapa besar kadar formalin yang disuntikkan oleh Dr. Djaja untuk proses embalming tsb (tanya, “Embalming pakai apa Dok?”). Maka adalah percuma jika PH ngotot mengapa darah korban tidak ikut diperiksa? Berita terkait tentang penjelasan dokter ahli forensik JPU dapat dilihat di sini. Walaupun Dr. Djaja bersedia menjelaskan cairan yang dipakai untuk proses embalming pun, tetap amat sulit untuk menentukan penyebab kematian Mirna secara scientific karena sudah tercemar (tidak orisinil).

Adanya loncatan scientific yang saya kemukakan di atas itu membuat kesaksian para ahli terbelah secara eksklusif.

- Tim ahli JPU—yang bertolak dari adanya sianida dalam dosis tinggi di cangkir kopi Mirna serta berdasarkan rekaman CCTV dan keterangan yang diberikan oleh para saksi mata—menyimpulkan bahwa Mirna meninggal karena sianida.

- Saksi ahli PH—yang bertolak dari sedikitnya kandungan sianida di lambung Mirna (sebagai hasil olah sampel yang cacat karena adanya loncatan scientific) menyimpulkan bahwa penyebab kematian Mirna tidak bisa ditentukan, tetapi berani memastikan tidak mungkin Mirna mati karena sianida.

Lantas, bagaimana kita bisa menemukan kebenaran? Fakta-fakta yang ada sebelum embalming adalah fakta yang asli, belum tercemar oleh proses reaksi kimia hasil embalming. Fakta setelah embalming tentu saja akan berbeda (tidak sesuai dengan literatur yang dikemukakan para saksi ahli pihak PH) sehingga sulit jika hanya berpegang pada hasil akhir.

Pada akhirnya tergantung keyakinan hakim untuk melihat dan menilai berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan lebih masuk akal (terdapat kesesuaian diantaranya) apakah suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan apakah terdakwalah yang bersalah melakukannya?

Salam kompasiana, semoga bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun