Mohon tunggu...
Hani RosianaJulianti
Hani RosianaJulianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Menjadi Perempuan di Zaman Ini

18 Januari 2022   10:06 Diperbarui: 18 Januari 2022   10:08 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita tau bahwa kejahatan seksual dari dulu hingga sekarang masih belum bisa diberantas. Pada zaman dulu perempuan selalu dicegah untuk melakukan sesuatu karena dianggap tidak baik dan mencegah terjadinya hal kejahatan yang tak diduga. Padahal kita sesama manusia memiliki hak keamanan dan rasa tenang di manapun kita berada. Apakah sesulit ini menjadi perempuan di zaman yang serba canggih ini? Bahkan tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun berseliweran hal-hal tak pantas yang menyudutkan dengan kalimat menjijikan membahas hal-hal seksual yang ditujukan kepada perempuan. Saya Hani Rosiana Julianti dan saya ingin menceritakan pengalaman saya menjadi salah satu perempuan korban kejahatan diatas.

Banyak sekali kasus dimana perempuan selalu menjadi korban kejahatan seksual dan tidak mendapatkan keadilan yang sesuai. Dari mulai 14 lelaki di Bengkulu yang tega memperkosa gadis berusia 14 tahun bernama Yuyun, kelakuan bejat seorang kakek dan paman di Padang yang tega memperkosa 2 cucunya, hingga dari keluarga dekat pun seorang ayah yang tega memperkosa putri kandungnya hingga hamil. Lalu dimana lagi tempat aman bagi kami para perempuan?. Saya sering berpikir bahwa apakah perempuan selalu salah dimata keadilan? Karena sampai detik ini masih banyak masyarakat yang belum berkembang pemikirannya dan selalu menyalahkan perempuan ketika  terjadi kejahatan yang tak diinginkan.

Semisal pada 11 Desember 2021 kemarin 14 lelaki tega menyekap dan memperkosa gadis berusia 15 tahun saat korban ingin membeli bakso bakar. Tidak jauh dari penglihatan, seorang nenek di lingkungan saya berkomentar " jadi anak aneh-aneh sih, malem-malem beli bakso" saya langsung tertegun pada saat itu dan dengan setengah emosi saya menanggapi " mau beli bakso atau beli kacang ijo itu terserah dia, dia punya hak untuk melakukan itu, mengapa menyalahkan gadis yang tidak bersalah? Memang laki-laki nya yang tidak tau tata krama" saya berucap dengan nada kesal karena apapun keadaannya entah itu terjadi ketika korban sedang sendirian maupun berramai-ramai mau siang atau malam, laki-laki manapun tidak memiliki hak atas tubuh korban. Saya pikir kita sama-sama perempuan dan harusnya tau apa yang gadis tersebut rasakan, namun benar, tidak semua orang menggunakan pikiran untuk mengucapkan sesuatu. Bahkan sesama perempuan pun tidak semua mendukung kami untuk mendapat keadilan. Bagaimana perasaan orangtua korban jika mengetahui gadis kecilnya menjadi korban kejahatan dan masih tetap disalahkan atas kesalahan yang tidak ia buat.

Elektabilitas instansi kepolisian pun saat ini tengah ramai dibicarakan. Bagaimana bisa orangtua disuruh untuk menangkap sendiri pelaku pemerkosa anaknya. Apa seremeh itukah kasus kejahatan seksual ini dimata hukum?. Benar, kita sebagai manusia dituntut untuk mandiri, namun di kasus seperti ini apa guna kepolisian jika korban sendiri yang harus koar-koar mencari dukungan publik agar kasusnya dapat ditangani. Kita sebagai masyarakat hanya bisa mengandalkan bantuan moril dan keadilan dari pihak yang berwenang terlebih lagi untuk masyarakat yang ekonomi nya kurang, sepertinya harus bekerja lebih keras lagi untuk meminta kedilan bagi dirinya di kehidupan yang serba butuh uang ini.

Hingga umur saya 20 tahun saat ini, saya sudah merasakan tidak nyamannya dilecehkan di depan publik. Saya terlampau sering di catcall oleh para lelaki yang kurang berotak bahkan terakhir kali saya mendapatkan hal tidak mengenakan tersebut 4 hari yang lalu. Saudara saya juga pernah mendapat paksaan dari temannya sendiri untuk mengirimkan gambar-gambar yang tidak pantas, dan itu sangat menjijikan. Jelas saja saudara saya tidak percaya, karena bahkan itu temannya sekalipun tidak semua orang dapat menghargai kita. Dia tersadar memang benar ini bukan teman yang baik dan yang bisa dia lakukan saat itu hanya menolak dan memblokir nomor pelaku berharap semoga tidak akan dipertemukan dengan pelaku lagi hingga kehidupan selanjutnya.

Ketika saya berusia 11 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri teman saya diperkosa oleh seorang bocah lelaki yang pada saat itu lebih muda dari korban. Di ingatan saya, saat itu mereka tengah bermain namun ada salah seorang perempuan yang masih belia juga namun usianya lebih tua dibanding saya dan teman saya menyuruh anak laki-laki tersebut untuk memperkosa teman perempuan saya. Pada saat itu saya hanya diam karena saya sendiri tidak tau apa arti memperkosa itu. Saat ini kami sudah berumur kepala dua dan saya masih yakin teman saya yang menjadi korban tersebut masih trauma karena mereka tidak pernah bertemu secara langsung hingga sekarang. Hal ini yang saya rasa perlu dijadikan pembelajaran bagi para orangtua khususnya dan dalam sektor pendidikan terutama sekolah.

Dari kecil kita perlu diajari bagaimana cara mempertahankan diri kita. Apa saja yang tidak boleh disentuh oleh siapapun termasuk orang terdekat kita dan apa yang harus kita lakukan ketika hal tersebut telah terjadi. Karena banyak dari korban pelecehan seksual tidak memberi tahu pada orangtua bahwa dia telah dilecehkan karena alasan malu dan hal lainnya. Padahal hal tersebut penting untuk diberitahukan agar hal serupa dapat dicegah dan langkah selanjutnya dapat dipikirkan. Sekolah perlu menerapkan kurikulum baru ataupun pembelajaran cara melindungi diri dan pendidikan seks sejak dini, karena saat ini kasus terus meningkat namun belum ada penyelesaian yang sesuai dengan apa yang dialami korban. Maka dari itu perlu penerapan pencegahan yang membawa harapan baru bagi kenyamanan dan keamanan anak dan orangtua.

Bukan hanya perempuan yang harus menjaga dirinya namun laki-laki juga harus mengontrol nafsunya. Kebanyakan masyarakat menyalahkan pakaian korban ketika terjadi kasus pelecehan, padahal tidak sedikit dari korban yang sudah mengenakan pakaian tertutup namun masih menjadi korban pelecehan. Hasil survey yang dipaparkan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyatakan bahwa terdapat 17% dari 32.341 responden yang mengenakan hijab namun tetap menjadi korban. Hal ini menunjukan bahwa pakaian perempuan tidak mempengaruhi kelakuan tidak terkontrol laki-laki. Hukuman perlu dirancang ulang sehingga membawa efek jera dan meskipun rasa sakit hati serta kerugian yang yang dialami korban jauh lebih besar dari hukuman apapun, pemerintah dan lingkungan sekitar memiliki tanggung jawab untuk memberikan ruang aman dan bantuan psikologis untuk membantu terciptanya harapan hidup baru yang lebih baik lagi bagi korban. Maka dari itu pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan bagi perempuan maupun laki-laki sehingga kita bisa saling menghargai dan kehidupan berlangsung dinamis serta berkesinambungan bukan hanya menyalahkan salah satu dari bagiannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun