Mohon tunggu...
Hukum

Hukum Syariat Islam untuk Indonesia, Apakah Cocok?

2 Desember 2018   20:41 Diperbarui: 2 Desember 2018   21:48 2072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukum syariat adalah bentuk hukum agama Islam yang mengatur kehidupan umat agama Islam. Hukum syariat diberlakukan di negara-negara islam, seperti Saudi Arabia, UAE, Irak, Iran Afganistan, dan negara-negara Islam lainnya.

Walaupun 87,18% warga Indonesia beragama Islam, tetapi Indonesia bukan merupakan negara Islam, hal ini dikarenakan NKRI tidak memberlakukan hukum syariat, kecuali di provinsi Aceh. Hal ini diberlakukan setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mencegah Aceh memisahkan diri dari NKRI. Dengan adanya UU no. 18 tahun 2001, Aceh mendapat hak otonomi khusus dan dapat memberlakukan hukum syariat Islam didalam provinsi Aceh dan diberlakukan kepada umat Agama Islam.

Argumen tentang penerapan hukum syariat Islam di Indonesia sudah berlangsung selama NKRI berdiri. Dimulai dari Piagam Jakarta yang dibentuk oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, saat itu butit pertama yang akan menjadi sila pertama yang akan menjadi Pancasila bertuliskan "Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja". Jika sila pertama ini tidak dirubah, NKRI pada dewasa ini memiliki kemungkinan besar menjadi Negara Islam dan menggunakan hukum syariat Islam. Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.

Perubahan ini dilakukan setelah pertimbangan bahwa tidak seluruh umat Nusantara menganut Agama Islam, khususnya pada bagian timur Nusantara yang memiliki mayoritas agama Kristen. Jika Panitia Sembilan tetap menggunakan butir pertama sebagai sila pertama Pancasila, tokoh-tokoh agama lain tidak akan setuju dan akan mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI, jika hal itu terjadi, banyak wilayah NKRI akan memisahkan diri dari Indonesia. Selain itu, semboyan Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" tidak akan dicerminkan jika butir pertama tidak diubah.

Akhir-akhir ini argumen untuk memberlakukan hukum syariat untuk hukum Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan survei LSI yang menemukan bahwa, dalam kurun waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila turun sebanyak 10%. Padahal 2005 masih berada di persentase 85,2%, 2010 (81,7%), 2015 (79,4%), dan di 2018 turun menjadi 75,3%. Meski masih mayoritas, penurunan sebesar 10% tetap perlu mendapat perhatian. Sedangkan publik yang pro-NKRI bersyariah justru mengalami kenaikan dari 4,6% di 2005 menjadi 7,3% di 2010. Angka tersebut kembali naik pada 2015 dengan 9,8% dan 13,2% pada 2018. Jadi dalam waktu 13 tahun ada kenaikan persetujuan publik terhadap NKRI bersyariah sebesar 9%.

Kenaikan persetujuan public terhadap hukum syariat Islam dapat berasal dari beberapa factor menurut LSI, seperti ketidakpuasan dari kalangan ekonomi bawah yang merasakan kesenjangan ekonomi melebar dari waktu 13 tahun tersebut. Faktor selanjutnya adalah munculnya paham-paham alternatif selain Pancasila, hal ini menarik banyak umat muslim untuk mengkaji paham tersebut lebih dalam. Faktor lainnya adalah kurangnya sosialisasi dan pembelajaran tentang Pancasila kepada masyarakat NKRI.

Sebenarnya, apakah hukum syariat cocok dan dapat diimplementasikan bersama dengan pancasila? Pertama-tama, jika NKRI mengimplementasikan hukum syariat islam, apa yang akan terjadi dengan umat-umat non Islam di Indonesia? Apakah mereka harus mengikuti hukum syariat? Jika begitu, umat-umat non Islam tidak akan setuju dengan kebijakan tersebut dan akan melakukan protes pada skenario terbaik dan dapat memisahkan diri dari NKRI melalui gerakan-gerakan seperti GAM. Gerakan-gerakan separatis menyebabkan kesatuan NKRI dapat rusak dan menjadi terpecah belah seperti saat sebelum Sumpah Pemuda. Kesatuan yang dipecah-belah akan mempermudah negara-negara asing untuk mempengaruhi masyarakat dan negara secara lebih mudah lagi. Tidak hanya itu, dalam segi ekonomi, masyarakat akan menjadi tidak produktif dan daerah-daerah yang memisahkan diri yang memiliki SDA yang menghasilkan devisa negara seperti minyak, emas, perikanan, dan lain-lain.

Dengan nusantara yang penuh dengan perbedaan dan kebudayaan yang kaya, implementasi syariat Islam tidak akan cocok dengan seluru masyarakat Nusantara dan tidak mencerminkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti kesatuan dalam perbedaan. Hal ini juga tidak seperti apa yang diinginkan oleh BPUPKI yang setuju secara aklamasi dalam pengubahan butir pertama Piagam Jakarta. Yang harus kita lakukan adalah bekerjasama untuk membangun Negara ini menjadi lebih baik dan lebih berpikir secara Nasionalis dan memikirkan negara terlebih dahulu sebelum berpikir mengenai golongan atau pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun