Ada yang menyampaikan pendapat berdasarkan buku, artikel, jurnal ilmiah sampai hasil tesis akademisi. Mereka berbicara seolah tak kehabisan bahan, sedangkan saya? Ya bisa ditebak, sebagai orang yang malas membaca, saya hanya bisa diam tanpa kata. Bahkan ketika ditawarkan oleh pembawa acara untuk ikut berbicara, saya tetap diam.
TEKAD KUATÂ
Sejak saat itu, barulah saya totalitas memahami, maksud pertanyaan sang Ustadz waktu itu. Sebagai seorang akademisi sekaligus seorang ketua umum, sangat perlu kiranya saya mesti terbiasa dengan bacaan-bacaan yang dapat menambah wawasan sebanyak mungkin.
Agar dapat menjadi bekal dalam penyelesaian masalah organisasi, memiliki banyak amunisi literasi untuk diskusi dan kegiatan Mahasiswa, membuka pikiran, serta yang paling penting adalah menyuburkan budaya Membaca, yang dimulai dari diri sendiri.
Sejak saat itu saya berhasrat untuk "melahap" sebanyak-banyaknya buku. Entah dengan membeli buku atau meminjam di Perpustakaan Kampus. Tahun 2019 pun menjadi awal yang luar biasa bagi saya untuk terbiasa berhadapan dengan Buku, dan hal ini terus berlanjut hingga sekarang.
PANDEMI: MOMENTUM "MELAHAP" BUKU
Tahun 2020 menjadi tahun yang mengagetkan kita, pandemi covid 19 melanda dunia, termasuk Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada aktivitas perkuliahan offline. Mau tak mau, saya harus berlama-lama di Rumah, meninggalkan Indekos dan Kampus tercinta untuk waktu yang lama.
Jenuh memang, namun disinilah momentumnya. Sambil berusaha menyelesaikan tugas akhir (skripsi) dan berdiskusi dengan Dosen pembimbing secara online, saya memutuskan untuk menghabiskan banyak waktu dengan membaca buku.
Target saya adalah menamatkan minimal 30 buku setiap tahunnya, artinya dalam sebulan setidaknya saya harus menyelesaikan 2 sampai 3 buku. Dan tahun 2020, target itu hampir tercapai, saya menamatkan setidaknya 28 buku dengan variasi halaman, mulai dari 100-an halaman hingga hampir 800-an halaman, sekaligus menyelesaikan skripsi saya tepat pada waktunya.
