Mohon tunggu...
hania okta vani
hania okta vani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nothing perfect human.... but i will try to be better than before

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Kodifikasi Hadits

29 Mei 2013   09:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:52 4895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mata Kuliah: Membahas Kitab Hadits

Dosen: Nur Kholis, M.Ag.

Pokok Bahasan:

1.Sejarah Kodifikasi

2.Hasil Kodifikasi dan Tren Masing-Masing

3.Maping Kitab-Kitab Hadits

Sejak wafatnya Rasulullah s.a.w., persoalan ilmiah yang dihadapi oleh para sahabat adalah persoalan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi bagian wacana sepeninggal Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam waktu itu. Pada generasi selanjutnya, yakni di masa tabi’in, kodifikasi al-Qur’an disandarkan atau dinisbahkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir-nya (pengakuannya), yang disebut hadits atau sunnah.

Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a. tidak menemukan banyak kendala karena tugas panitia kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada ditangan para sahabat r.a. untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari Nabi s.a.w. dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat al-Qur’an.

Pengkodifikasian al-Qur’an sangat berbeda dengan pengkodifikasian hadits yang lebih banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual. Hadits ternyata lebih banyak dipelihara lewat hafalan dari pada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang ada masanya diizinkan oleh Nabi untuk mencatat Hadits. Hadits yang ada dalam ingatan dan catatan mereka tersebar secara luas keberbagai daerah Islam yang dikunjungi para sahabat Nabi s.a.w., baik untuk keperluan jihad, dakwah dan niaga. Untuk menghimpun hadits-hadits itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologis, epistimologi, dan aksiologis yang akurat, agar yang dinamakan Hadits itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun Hadits, dan perbedaan visi politik serta madzhab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status Hadits oleh ulama dari generasi ke generasi.

Landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis Hadits di atas, baik dilihat pada aspek sanad maupun matan sudah dilakukan oleh para sahabat generasi pertama, seperti Abu Bakar r.a. (w.13 H), ’Umar bin al-Khattab r.a. (23 H), ’Utsman bin Affan r.a. (w. 35 H), ’Ali bin Abi Thalib r.a. (w. 40 H), ’Aisyah r.a. (w.58 H), dan para sahabat Nabi lainnya.Hanya dengan demikian hubungan fungsional dan structural antara al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan proporsinya, yaitu Hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) al-Qur’an, dan kedudukannya sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an. Antara al-Qur’an dan Hadits secara ontologis tidak boleh ada kontradiksi satu dengan yang lain karena kedua-duanya merupakan sumber hukum Islam yang sudah disepakati bersama oleh kaum Muslimin. Jika secara lahiriah tampak adanya pertentangan, maka setatus sanad dan matan Hadits harus ditinjau kembali, untuk selanjutnya, ditentukan setatusnya, karena al-Qur’an mutawatir, sedangkan Hadits kebanyakan ahad.

Penulisan Hadits pada masa sahabat, masih belum dianggap mendesak. Hadits masih dihafalkan saja oleh para sahabat. Usaha-usaha penulisan Hadits masih dikhawatirkan mengganggu perhatian terhadap penulisan al-Qur’an, dikarenakan soal keterbatasan tenaga dan sarana. Abu Bakar as-Shiddiq telah menemukan kebijaksanaan tidak mengizinkan para sahabat menulis Hadits. Bahkan ditemukan data, Abu Bakar memerintahkan untuk membakar 500 Hadits, sedangkan Umar bin al-Khathab pernah berniat mengumpulkan tulisan mengenai Hadits dari beberapa shahifah. Akan tetapi usaha itu diurungkan, karena masih ada kekhawatiran mengganggu perhatian para sahabat terhadap penulisan al-Qur’an. Di samping itu para sahabat umumnya tidak sependapat dengan usaha-usaha itu. Sebaliknya usaha sahabat dalam memelihara Hadits dengan cara menghafal, menjaga dan menyampaikan Hadits dari Nabi Muhammad dengan sangat hati-hati.

Seseorang yang menerima riwayat Hadits tidak harus menyampaikan Hadits itu kecuali diperlukan. Kebijaksanaan yang demikian itu dilakukan oleh Abu Bakar dan juga ’Umar bin al-Khatthab. Namun demikian, semangat menyampaikan Hadits kepada sahabat atau orang lain masih sangat tinggi. Hal itu disebabkan karena adanya keinginan dari para sahabat untuk menyebarluaskan agama Islam sesuai dengan perintah Nabi s.a.w. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibn Tsabit dari Rasulullah s.a.w., suatu pujian dari Allah untuk sahabat Nabi yang mendengarkan dan menyampaikan Hadits, akan selalu diperhatikan Allah s.w.t., dengan sabdanya:

Semoga Allah membaguskan seorang yang telah mendengar perkataan saya, kemudian menghafalnya, menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengar. Dalam Hadits lain dijelaskan, ”Hendaklah orang yang menyaksikan (yang hadir) menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir.”

Orang yang akan menyampaikan riwayat (Hadits) dianjurkan untuk waspada, meneliti terlebih dahulu apakah ini benar dari Nabi s.a.w. Setiap yang didengarnya dipahami dan dimantapkan, baru kemudian disampaikan kepada yang lain. Tidaklah dibenarkan menyampaikan dengan tergesa-gesa.

Seseorang telah termasuk berdusta, apabila ia menyampaikan semua apa yang didengarnya.

Dalam sikap berhati-hati, ’Umar ibn al-Khatthab setiap menerima Hadits mewajibkan memberikan syahid dan mutabi’. Ditemukan riwayat dari Ibn Mas’ud mengenai berita penghapusan shahifah yang dibawa oleh al-Qamah. Berita tersebut diterima dari ’Abd ar-Rahman Ibn al-Aswad dari bapaknya yang dilakukan di rumah Ahl al-bayt. Dengan bukti-bukti lainnya lagi menunjukkan bahwa pada saat ini kegiatan yang mengarah untuk menulis Hadits yang dilakukan beberapa sahabat, untuk diri sendiri, untuk orang lain, ataupun untuk dibukukan dalam satu naskah tidak dilakukan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kegiatan menulis Hadits belumlah digandrungi. Apabila diperhatikan tulisan-tulisan para ulama, tidak semua tulisan Hadits dimusnahkan, karena kelak tulisan sahabat-sahabat itu masih dapat ditemukan, bahkan dijadikan bahan pokok penulisan Hadits pada masa tabi’in dan tabi’ut at-tabi’in.

Dalam perkembangan selanjutnya, penulisan Hadits tersebut belum mendapat tiupan angin segar dari pihak ulama, sahabat, tabi’in, dan para penguasa pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah. Argumentasinya masih mirip dengan argumentasi sebelumnya, yaitu Hadits cukup dihafal saja oleh para ulama tabi’in, agar tidak mengurangi perhatian mereka terhadap al-Qur’an, selain adanya larangan dari Nabi s.a.w. untuk menulis Hadits. Apabila diperhatikan tulisan-tulisan para ahli Hadits, diakui memang dapat ditemukan beberapa tulisan Hadits sebagai catatan peristiwa-peristiwa penting, atau adanya keperluan tertentu. Hanya saja catatan itu tidak sistematis dan tidak seragam, ataupun hanya mengenai masalah tertentu, seperti masalah zakat yang ditulis oleh Abu Bakr. Mengenai Hadyu dalam haji yang ditulis oleh Ziyad ibn Shufyan, Ali menulis para pedang, dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya,mulai muncul fatwa para sahabat dan tabi’in. Para ulama menulis fatwa sahabat dan tabi’in pada suatu masalah, karena tidak ada larangan, dan fatwa para sahabat itu diperlukan dalam pemecahan masalah baru itu. Menghadapi perkembangan tersebut, mulai terpikir, mengapa justru fatwa sahabat yang ditulis, bukan Hadits Nabi s.a.w. Kekhawatiran bercampurnya al-Qur’an dengan Hadits telah hilang, karena al-Qur’an telah dikumpulkan dengan sempurna pada masa khalifah ’Ustman bin Affan. Alasan yang sangat mendesak lagi adalah, banyak ’ulama’ yang telah wafat, baik karena sakit maupun sebagai syuhada dalam jihad fi sabilillah. Oleh karena itu usaha penulisan Hadits semakin keras dilakukan oleh para ulama tabi’in, meskipun masih terdengar suara menolak usaha penulisan Hadits tersebut.

Pada masa khalifah ’Umar ibn ’Abd al-’Aziz yang terkenal dengan kearifan, keadilan, dan ketaatan terhdap Islam, sehingga mendapat julukan khulafa ar-Rasyidin V, ia memperhatikan gelombang usaha penulisan Hadits, dan secara resmi memerintahkan penulisannya. Perintah yang dikeluarkannya adalah sebagai berikut:

Perhatikanlah Hadits Rasulullah s.a.w. dan tulislah Hadits itu, sesungguhnya saya khawatir hilangnya ilmu, karena ulama telah pergi (meninggal dunia).

Dengan adanya perintah resmi dari khalifah ’Umar bin ’Abd al-’Aziz itulah, maka para ulama mulai menulis dan membukukan Hadits, dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi ulama yang melakukan pengkajian dan pembahasan Hadits. Perintah tersebut diikuti oleh kebijaksanaan penggunaan sebagian baitul mal untuk membiayai penulisan Hadits. Ibn Syihab az-Zuhri (w.124 H) adalah orang pertama yang melaporkan pengumpulan Hadits pada permulaan tahun 100 H atau permulaan abad II H, masa khalifah ’Umar bin ’abd al-’Aziz. Kemudian secara aktif disusul oleh penulis-penulis lain dalam rangka pengumpulan Hadits, dengan pengkajian, penyampaian, diskusi-diskusi,bahkan melakukan pelawatan, sebagai usaha melakukan tugas penulisan Hadits pada saat itu. Di antara yang terkenal adalah seperti Abu Bakar ibn Hazm, ’Umrah binti ’Abd ar-Rahman, al-Qasim ibn Muhammad Abi Bakr dan lain-lain.

Penulisan Hadits yang serius dengan situasi yang mendukung adalah pada masa khalifah ’Umar ibn ’Abd al-’Aziz dan masa ini dikenal dengan masa Tadwin al-hadits. Selaku khalifah, ’Umar bukan hanya mengeluarkan perintah, tetapi juga menyediakan biaya, dan juga turut aktif membahas setiap hasil tulisan para ulama, dan apabila tidak cocok dengan Hadits lain, ataupun isinya bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits yang telah ditulis itu harus dihapus, sebab dinilai bertentangan, sehingga tidak boleh diamalkan.

Belakangan, juga ada yang berpendapat, bahwa perintah yang pertama kali untuk mengumpulkan Hadits dikeluarkan oleh amir Mesir ’Abd al-’Aziz ibn Marwan, ayah ’Umar bin ’Abd al-’Aziz, pendapat itu dianggap kurang tepat, sebab pada saat itu yang ada hanya izin penulisan Hadits.

Jika diteliti berdasarkan sumber tulisan ulama salaf, khalaf, dan moderen, penulis dapat menyimpulan beberapa hal sebagai berikut:


  1. Penulisan Hadits pada masa Nabi s.a.w. masih terbatas. Demikian juga jumlah Hadits yang tertulis, hanya sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perhatian yang terfokus pada penulisan al-Qur’an. Di antara hasil penulisan Hadits pada saat itu adalah sebagai berikut:

a.Catatan yang berserak mengenai beberapa masalah, termasuk surat-surat Nabi s.a.w. kepada raja-raja Persi, Romawi dan lain-lain.

b.Shahifah Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr al-’Ash (w.65 H).

c.Catatan yang ditulis oleh Ibn ’Abbas (w. 68 H).

d.Shahifah yang ditulis Jabir ibn ’Abdullah al-Anshari (w.78 h).


  1. Penulisan di masa sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in, antara lain sebagai berikut:

a.Shahifah-shahifah yang ditulis oleh Hamam bin Munabbih (w. 131 H). Sebagai murid setia Abu Hurairah, maka Hadits yang ditulis juga dari Abu Hurairah.

b.Shahifah-shahifah tipis pada masalah tertentu yang ditulis oleh beberapa penulis, seperti Qatadah yang berasal dari shahifah Yasquri, ’Urwan ibn Zubair (22 H -93 H), Al-Hasan al-Bashri (21 H – 110 H), Yahya ibn Abi Katsir (w. 128 H), Muhammad ibn Abi Sauqat (w.132 H), Zaid ibn Aslam (w. 136 H). Mengenai tafsir, Musa ibn Uqbah (w. 141 H), As-As Ibn Abd al-Malik al-Hamrani (w.142 H), ’Aqil ibn Khaliq Ibn ’Aqil (w. 142 H), Yahya ibn Sa’id al-Anshari (w. 143 H). Juga kitab atau shahifah yang ditulis Auf Ibn Abi Jamilah (146 H), Ja’fat as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ( 80 H-148 H), Yusuf ibn ’Aziz ibn an-Najad (w. 152 H), ’Abd al-Rahman Ibn ’Abdullah ibn ’Utbah al-Mas’udi (w. 160 H), az-Zaidah ibn Qudamah (w.161 H), Sufyan ats-Tsauri menulis al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ as-Shagir, Ibrahim ibn Takan (w. 163 H), dan asy-Syukri, yakni Abu Hamzah (w. 168 H) telah menulis dua kitab shahih.

Masih banyak lagi yang tercatat sebagai pengamanan Hadits dalam bentuk penulisan, seperti ’Abd ’Aziz ibn Abdullah al-Majisyun (w. 164 H), Abdullah ibn Uways (169 H), Abdullah ibn Lahi’ah (w.174 H), al-Lays ibn Sa’ad (w.175 H).

Ditemukan data ulama yang telah menulis dan menyusun Hadits dengan menggunakan sistem bab dalam kitabnya, mereka itu adalah ’Abd al-Malik ibn ’Abd al-Malik ibn ’Abd al-’Aziz ibn Juraij al-Bashri ( w.150 H) di Makah, Malik ibn ’Abbas (w. 179 H) atau Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, Muhammad ibn ’Abd ar-Rahman Abi Zi’b (80 – 159 H), ar-Rabi’ ibn Sabih (w. 160 H) Sa’id ibn Salamah (w. 167 H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97 – 161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abad, Ma’mar ibn Rasyd (95 – 153 H) di Yaman. Al-Imam ’Abd ar-Rahman ibn ’Umar al-Auza’i (88-157 H) di Syam, ’Abdullah ibn Mubarak (116- 181 H) di Khurasan, Husyain ibn Basyir (104-183 H) di Wasit, Jarir ibn ’Abd al-Hamid (110 H – 188 H) di Ray, dan ’Abdullah ibn Wahab (125 -197 H) di Mesir.

Dari data-data di atas, Muwattha’ yang ditulis oleh Imam Malik bin Anas adalah yang terbesar dan berpengaruh dalam masyarakat, yang memuat 700 Hadits dan 3000 hal yang ditulis. Kitab tersebut mendapat penghargaan yang luar biasa dari ulama salaf maupun ulama khalaf. Para ulama generasi berikutnya menilai bahwa Muwattha’ Imam Malik masih bercampur antara Hadits, fatwa sahabat, opini tabi’in, dan pendapat ulama.

Sejak era sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in sudah mulai disusun ilmu Hadits. Pemikiran ini timbul sejak adanya perilaku yang kurang terpuji dari orang-orang munafik, fasiq dan zindiq, seperti berbohong, mencari dukungan, mencari muka di depan pejabat, dan lain-lain. Situasi buruk itu semakin parah lagi setelah terjadinya fitnah, perpecahan dan perebutan kekuasaan, sejak akhir jabatan khalifah ke III, ’Utsman bin Affan, disusul dengan pemerintahan khalifah ke IV, ’Ali bin Abi Thalib, dan permulaan pemerintahan daulah Bani Umayyah. Para ulama pada umumnya berpendapat, bahwa para sahabat dan tabi’in besar, tidak ikut terlibat dalam pemalsuan Hadits ini, karena sebagaimana diketahui mereka sangat taat kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya. Mereka ikhlas mengikuti Nabi s.a.w. hijrah dengan pengorbanan besar. Mereka beribadah dengan khusu’ dan tawadu’ serta berakhlak mulia.

Penyusunan dan penulisan kitab Hadits menjadi lebih penting lagi bagi generasi atba’ at-tabi’in, karena ilmu Hadits itu menjadi alat yang sangat penting untuk melakukan penyaringan dan penulisan Hadits yang lebih sistematis serta dapat diandalkan hasilnya. Karena kepentingan itulah, maka secara berturut-turut dalam waktu yang relatif singkat tersusun ilmu Hadits, dan yang paling awal dibahas adalah masalah isnad, karena memang sangat diperlukan. Kemudian disusul at-Tahamul wa al-Ada’, Tarikh ar-Ruwat, ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, dan seterusnya. Ditulis pula ilmu Gharib al-Hadits, Mukhtalaf al-Hadits, Nasikh wa al-Mansukh, dan ’Ilal al-Hadits.

Dengan bekal itu maka generasi atba’i atba’i at-tabi’in mendapatkan bahan untuk melakukan tugas mulia, yaitu membersihkan Hadits palsu dan lemah, dan kemudian menulisnya dalam kitab-kitab yang shahih saja, meskipun belum sempurna. Ahmad bin Hanbal (164-241 H) generasi atba’ atba’ at-tabi’in telah menulis sebanyak 40.000 Hadits yang diberi nama al-Musnad. Ia dikenal sebagai seorang Imam dan Hafidz, Dhabit, Wara’, kuat ibadah dan berakhlak mulia. Menurut penelitian ahli Hadits, dalam hal-hal yang berkaitan dengan halal dan haram, Hadits dalam musnad itu dapat diandalkan, tetapi diragukan dalam soal fadha’il al-a’mal. Penyempurnaan yang dilakukan oleh ’Abdullah ibn Ahmad (anaknya) dan Abu Bakr al-Qati’i terbukti telah memasukkan Hadits Maudhu’ (palsu), sehingga pembersihan Hadits dari unsur pemalsuan dan lemah oleh imam Ahmad ibn Hanbal belum dapat dikatakan berhasil. Usaha pembersihan Hadits dilakukan terus oleh beberapa orang ulama pada saat itu. Tercatat ada beberapa orang ulama terkenal sebagai berikut:

1.‘Abdullah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari, Imam ahli Hadits, lahir hari Jum’at 13 Syawal 194 H. Terkenal dengan sebutan Amir al-Mukminin fi al-Hadits.

Sejak usia 10 tahun ia telah belajar Hadits dan melakukan pelawatan ke Negara-negara Islam. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang kuat hafalan, sehingga ia dijuluki Imam dalam Hadits, di samping ia dikenal sebagai seorang yang shalih. Selain itu, ia juga diketahui senantiasa mandi terlebih dahulu setiap kali akan menulis Hadits, lalu shalat istikharah dua raka’at.

Kitab Jami as-Shahih al-Bukhari memuat 7.397 Hadits dengan beberapa Hadits berulang atau sekitar 2.602 yang tidak terulang. Ketelitian dan kehati-hatian al-Bukhari yang diikuti dengan sikap wara’ itu menjadikan kitab jami’ tersebut sangat masyhur. Di samping itu, Imam al-Bukhari memang hanya menulis di dalam kitabnya Hadits yang mempunyai derajat shahih saja, disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah dirumuskannya sendiri.

Ia melakukan pemilahan Hadits yang shahih secara teliti dan hati-hati dari sekian jumlah ribuan Hadits yang dihafal. Dengan begitu,ia yakin bahwa segala yang dikerjakannya tidak akan menyimpang dari yang diharapkannya sejak semula. Namun demikian, usahanya itu tetap mendapat kritikan dari ulama lain, meskipun mayoritas mengakui kebaikan dari kitab al-Bukhari itu.Banyak ulama yang mensyarahi kitabnya, membuat ikhtisar, juga membuat riwayat hidup perawi-perawinya.

2.Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi (204-261 H) adalah imam Hadits yang sangat terkenal. Imam Muslim belajar Hadits sejak kecil dan melakukan pelawatan ke berbagai negeri Islam, mengunjungi Syam, Hijaz dan Mesir. Ia berguru kepada guru-guru al-Bukhari. Imam Muslim sangat tertarik dengan Imam al-Bukhari dan mengikuti jejaknya, dan di masa hidupnya dan mengikuti jejaknya, semasa hidupnya mereka bergaul di Naisabur. Dalam menetapkan kriteria kesahihan Hadits, Imam Muslim mengikuti persyaratan yang ditetapkan oleh Imam al-Bukhari. Imam Muslim menghimpun 4000 Hadits di dalam kitabnya yang tidak berulang, dan kalau termasuk yang terulangjumlahnya 7.275 buah Hadits. Banyak ulama yang membuat syarah ataupun mukhtasharnya.

3.Abu ‘Abd ar-Rahman Ahmad Syua’ib al-Khurasani (215 – 303 H) adalah seorang Hafidz. Imam ahli Hadits ini dikenal dengan nama Imam an-Nasa’I, sangat kuat dalam ilmu al-jarh wa at-ta’dil. Ia lahir di Nasa’ tahun 215 H, tempat yang terkenal di Khurasan dan menulis kitab dengan nama Sunan an-Nasa’I al-Kubra. Kitab ini memuat 1.000 Hadits, kemudian diseleksi yang shahih saja, sehingga lebih sedikit jumlahnya, karena itu diberi nama al-Mujtaba artinya pilihan. Ulama yang membuat syarah kitab Hadits ini adalah as-Suyuthi, sedangkan yang membuat mukhtasharnya adalah ‘Abd al-Hasan Muhammad ibn ‘Abd al-Hadi al-Sindi al-Hanafi (1138 H).

4.Abu ‘Abdillah ibn Yazid ibn Majah adalah seorang hafidz, lahir tahun 207 H. Ia belajar dan melakukan pelawatan ke Mesir dan Syam. Ia dikenal dengan Ibn Majah dan kitabnya Sunan Ibn Majah. Dalam kitab tersebut terdapat 32 pembahasan, 500 bab dan 4.000 Hadits. Orang sering mempertanyakan apakah kitab Sunan ibn Majah termasuk dalam al-kutub as-sittah. Ada yang memilih kitab al-Muwattha’karya Imam Malik sebagai kitab yang keenam. Namun banyak ulama yang menganggap kitab ini sangat penting, utamanya dalam masalah fiqih, sehingga yang lebih tepat, Sunan Ibn Majah termasuk al-Kutub as-Sittah.

5.Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa ibn Saurah as-Sulami at-Tirmidzi, lahir tahun 209 H. di Tirmidz. Ada yang berpendapat lahirnya tahun 200 H. Ia banyak berguru dan melakukan pelawatan keberbagai negeri, seperti Khurasan, ‘Iraq, dan Hijaz. Ia menjadi seorang yang ‘alim, wara’ dan hafidz. Karya monumentalnya adalah Sunan at-Tirmidzi yang memuat 3.956 Hadits, sebagian besar adalah hasan shahih, sebagian lagi hasan, shahih dan sedkit yang dha’if. Kesemuanya dijelaskan nilainyadan ‘illat yang ada pada hadits itu.

6.Sulaiman ibn al-Asy’as ibn Ishaq al-Asadi as-Sijistani, lahir pada tahun 202 H., Terkenal dengan sebutan Imam Abu Dawud. Ia belajar dan melakukan pelawatan ke Syam, Mesir, Khurasan dan lainnya. Ia banyak meriwayatkan Hadits dari para guru Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Kitab Sunan Abu Dawud terkumpul sejumlah 4.800 Hadits dan dikhususkan sebagai Hadits hukum. Banyak ulama yang memuji ketelitian dan kepandaian Abu Dawud, seperti Sulaiman al-Khathabi dan lain-lain, sementara ulama lain membuat syarah dan mukhtasharnya.

Enam ulama ahli Hadits di atas telah melakukan pembersihan Hadits dari pemalsuan Hadits atas nama Nabi s.a.w. atau hadits maudhu’dan lemah tersebut. Mereka juga dikenal sebagai orang yang ahli di bidang fiqih, sekalipun perhatian yang mereka curahan lebih banyak terhadap Hadis.

Pada telaah ini penulis tidak membedakan antara sunnah dan Hadits.

Ta’rif muatawatir ialah segala berita atau peristiwa yang diriwayatan oleh sejumlah orang (orang banyak) yang diyakini mustahil mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta. Ibnu Hajar al-Asqalani, selanjutnya disebut al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Musthalah Ahl al-Atsar, (Mesir: Maktabah al-Qahriyah, t.th.) h. 3

Peristiwaatau berita yang diriwayatkan secara ahad ialah peistiwa atau berita yang diriwayatkan oleh orang yang terbatas jumlahnya dan baru merupakan dugaan kuat bahwa peristiwa itu terjadi. Shahih dan tidaknya riwayat ahad sangat tergantung kepada orang yang membawa riwayat itu. Penjelasan lebih lanjut tentang pengertian ahad akan diketahui ketika dilakukan telaah terhadap kategori hadits. Lihat ibid., h.4.

Ketiga istilah itu dikutip dari filsafat ilmu. Yang dimaksud dengan ontologi pada tulisan ini adalah kandungan hadits, seperti aqidah, syari’ah, mu’amalah akhlaq, sejarah, dan lain-lain. Epistemologi dititikberatkan pada cara-cara menentukan derajat Hadits yang berkaitan dengan kandungannya, sedangkan aksiologi berkaiatan dengan tujuan ulama yang mengumpulkan hadits tersebut. Penjelasan tentang ketiga istilah tersebut lihat Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), Cet. Ke-5, h. 10.

Musthafa ‘Azham Allah ad-Damini, selanjutnya disebut dengan ad-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadl: Jami’ah Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah, 1984), Cet. ke-1, h. 61-75.

Mengenai posisi Hadits sebagai bayan al-Qur’an banyak dibahas oleh ahli ushul fiqh. Adapun yang dimaksud bayan di sini adalah bayan dari ayat-ayat mujmal, muqayyad dari ayat-ayat muthlaq, takhshis dari ayat-ayat ’am. Asy-Syafi’i adalah ulama yang pertama kali membicarakan hal ini secara sistematis dalam kitabnya ar-Risalah. Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h.21. Uraian bayan ini selanjutnya lihat as-Syathibi, al-Muwafaqat (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid III, h. 49.

Kategori mutawatir dan ahad berimplikasi kepada adanya nash qath’i dan zhanni dalam ajaran Islam.

Berita dari al-Hakim dari al-Qasim ibn Muhammad dari A’isyah, 500 Hadits yang dibakar. Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1975), cet. Ke-3, h. 153. Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ad-Dzahabi, Mizan al-I’tidal (al-Hind: ttp, 133 H), jilid 1, h.5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun