Aku mengendus bau busuk di dalam hatiku.
Bau busuk daging yang terkoyak berlumuran darah, luka dari masa lalu yang tak kunjung sembuh.
Aku di hantam kecemasan, beribu jalan, beribu kelok jauh telah tertempuh tidak juga membuatku berpikir kalau kematian akan segera menjemput.
Ada marah, ada hasrat, ada gelisah merayapi denyut nadiku yang lemah.
Mimpi bagai padang pasir tandus tanpa tetes hujan dan aku kehausan mengarunginya.
Lumbung-lumbung air yang ku temukan hanyalah fatamorgana.
Di tengah terik, di tengah letih aku menggigil.
Di mana kamu Tuhan telah ku cari di lorong-lorong bawah jembatan.
Telah ku kejar di antara riuh galau kecemasan.
Dan di rumahmu yang damai hanya ku temukan wajahmu yang muram.
Berdiri terpaku menatap jiwaku yang basah bermandikan nafsu gelora dunia yang semu.
Akal sehatku terkatung-katung rombeng dan bau.
Nuraniku telanjang bersenggama dengan dosa-dosa yang ku pahat di batu hidup.
Menjadi berhala menjadi dewa-dewa yang ku sembah dan ku puja.
Hingga berlarut-larut dan aku terseret arus durjana.
Aku kesunyian dalam waktu.
Hidup yang teramat singkat ternyata jenuh.
Doa-doa tak lagi menjadi perisai melainkan tumpul dan patah.
Tak dapat ku genggam tak dapat raih mimpiku tenggelam di telan amuk gelombang tsunami.
Megap-megap mencari ruang nafas, hidungku tersumbat.
Aku tergeletak di bibir pantai yang sunyi.
Tak ada senja tak ada fajar yang ada hanya gelap meliputi cakrawala.
Kosong dalam ruang sunyi tak berjiwa.
Tuhan jangan biarkan aku sendiri, menelan pahit getir tanpa penawar susu rahimmu.
Bukankah aku telah kau ciptakan untuk hidup. Untuk tumbuh dan mengenalMu.
Sungguh aku tak berdaya, aku lemah, aku di liputi khilaf.
Ringankan bebanku, ajarkan aku terus bersujud meski waktu yang ku hadapi kini hanya sejengkal dari maut.
handypranowo
