Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Peta Kampung Halaman

5 Mei 2022   06:21 Diperbarui: 5 Mei 2022   06:31 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ia tidak tercatat pada mesin pencari. Ia hanya di beritakan dari mulut ke mulut. 

Ia hanya di ketahui dari sebuah papan nama yang di tuliskan entah kapan dan di mana.

Ia suatu tempat di mana kalian tak akan menduga ada di bumi. Ia terpendam, tubuhnya penuh misteri.

Ia begitu asing. Sesungguhnya ia memang terasing. Orang-orang kota menyebutnya desa keramat penuh kutukan sebab akibat.

Tapi kami penduduk asli diam-diam menyembunyikan keindahannya, kami tak percaya hal gaib orang-orang kota.

Kami hanya percaya orang-orang kota serakah. Tukang keruk tanah. Tukang babat hutan. 

Tukang bikin perkebunan hingga ribuan hektar dan warga desa di perkerjakan dengan ongkos yang murah. 

Dan yang pasti orang-orang kota senang membunuh keindahan alam nan asri.

Sebenarnya untuk mencapai ke sana hanya ada satu jalan. Jalan yang biasa di lalui para lelaki bertopi caping.

Jalan yang berliku. Menanjak dan menurun. Melewati hutan pegunungan. Melewati sawah perbukitan.

Melewati sungai-sungai dan kuburan. Melewati kesunyian kabut yang menjuntai. 

Di sana burung-burung dan kupu-kupu berterbangan tanpa rasa takut di buru.

Udara bertebaran begitu bersih tak perlu di cuci. Air mengalir jernih lagi wangi. Gemericiknya sampai ke hati.

Lewat batang-batang bambu yang panjang dan ujungnya di langit sampailah air ke rumah-rumah beratap jerami.

Orang-orang terbiasa menyimpannya ke dalam sebuah kendi. Mereka  meminumnya setiap hari.

Apabila malam terang benderang bintang-bintang menari dan bernyanyi. 

Para penduduk bersorak-sorai menikmati pertunjukan malam.

Perut mereka terisi, lumbung padi dan bahan makanan tak pernah sepi.

Lalu bulan bundar kemerahan singgah di pekarangan menikmati kopi, singkong dan ubi ia bercerita tentang burung hantu yang nakal menggoda. Ia jelita bagi jejaka.

Ia begitu manja, senyumnya manis mempesona terbawa ke dalam mimpi hingga fajar tiba.

Handy Pranowo

5 Mei 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun