Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matinya Nyai Kubur

9 September 2019   03:03 Diperbarui: 9 September 2019   03:47 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selepas senja langit bergerak gelap, bintang redup dan bulan tak nampak. Angin menjilat dahan-dahan randu sepanjang jalan dusun. Sunyi berarak melepas tembang malam di jalan lengang, burung-burung gagak bersorak-sorak mengepak sayapnya menyala hitam, berkeliling di dusun kecil yang terkenal akan kuburan keramat.

Hela pedati terakhir telah lewat, lolong anjing di bukit jauh terasa mendekat, anak-anak berselimut peluk tubuh ibunya para lelaki masih membaca doa sebelum akhirnya memejamkan mata. Malam ini terasa gaib beda bagi malam-malam sebelumnya, mencungkil bulu kuduk penduduk dan lenguh kerbau di kandang gelisah.

Maka tak lama belum juga bulan nampak pecahlah teriakan lelaki menyusuri jalan tanah dengan kentong bambu merah, mengetuk pintu-pintu dan jendela yang tertutup rapat, angin menderu hebat ikut berteriak buyarkan sunyi dan di dalam rumah mata saling menatap.

Nyai kubur mati, nyai kubur mati, nyai kubur mati.

Lalu di nyalakan lagi lampu-lampu petromak para lelaki mengikat sarung segera beranjak, dalam satu gerak dingin menyergap, mereka seperti mengenali suara yang teriak namun takut memulai membuka pintu pertama, ragu-ragu dan lamban, siapa pula yang mau melayat perempuan yang tinggalnya di kuburan keramat.

Ini malam yang gaib, malam bagai sihir menggelayut di dada, burung-burung gagak bersuara gelisah, lolong anjing seakan di cekik arwah penuh dosa dan siapa pula berani melayat perempuan itu kecuali orang gila yang benar-benar gila.

Nyai kubur mati, nyai kubur mati, nyai kubur mati.

Dulunya ia kembang desa, purnama bagi laki-laki dan di cemburui para wanita namun sial cintanya kepada bapak bupati tak sampai dan ia di tinggal pergi begitu saja maka dendam tak terima, kabar burung tersebar dirinya telah juga rela di tiduri, di datangilah makam keramat yang katanya makam wali, meminta ia, bersujud ia, berpuasa hingga empat puluh hari empat puluh malam, orang tuanya menangis hingga mati tak di hiraukan sebab telah buta cintanya bagi bapak bupati. 

Maka sejak itu Siti berubah nama menjadi nyai, nyai kubur, karena hidup selamanya di sana dan hanya mau mandi bila air di campur kantil dan melati.

Nyai kubur mati, nyai kubur mati, nyai kubur mati.

Satu-persatu akhirnya para lelaki keluar rumah, suara kentong bambu menjauh mengarah ke makam tak sempat di cegah, dengan obor-obor menyala bergeraklah mereka, sebelumnya di nasehati para istri dan anak agar tak keluar rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun