Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penantian Sabar

21 September 2018   02:06 Diperbarui: 13 Februari 2021   12:09 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi liputan6.com

Sore itu di sebuah perkampungan nelayan padat penduduk nampak deretan perahu-perahu kayu terikat tali di tepian dermaga, langit cerah, matahari menampakan kelembutan cahayanya. Dari kejauhan suara keceriaan anak-anak terdengar, mereka asyik bermain layang-layang di sebuah tanah kosong yang tak cukup lebar, canda tawa mereka pecah bersama debur ombak yang menampar sisi dermaga. 

Di tempat ini bau amis sangat menusuk hidung di tambah lagi aroma air laut yang terkontaminasi limbah pabrik di sekitaran rumah penduduk, hal ini sangat mengganggu kesehatan. 

Jarang sekali masyarakat di kampung ini perduli mengenai kebersihan lingkungan. Aroma tak sedap itu di bawa angin berputar-putar masuk ke sudut-sudut gang perkampungan dan orang-orang di sana menghirup udaranya. Mereka sudah terbiasa.

Di tempat seperti inilah Sabar tinggal bersama keluarganya, ayah, ibu dan kakak perempuannya. Mereka menempati rumah kayu semi permanen yang tepat menghadap ke lautan. Keluarga Abidin hanyalah potret sebagian kecil kehidupan nelayan yang jauh dari kata mapan, namun mereka tetap menggeliat, mencoba terus bertahan, mengarungi gelombang kehidupan.

Mereka bukanlah keluarga yang hidup di lingkar zona nyaman dan itu hampir terjadi di semua keluarga yang tinggal di perkampungan nelayan ini. Mereka selalu berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terburuk sekalipun dan karena itulah mereka dapat bertahan.

Abidin sendiri sebagai nelayan turun temurun dari keluarga ayahnya yang tinggal di kota Tegal lalu hijrah ke kampung nelayan pinggiran ibukota Jakarta bersama paman dan beberapa sanak saudaranya beberapa puluh tahun yang lalu. 

Abidin menikah dengan seorang wanita yang dulunya penjaja kue dan gorengan keliling di sekitaran kampung nelayan. Pernikahan Abidin di karuniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Riska dan Sabar. Ia begitu berharap kepada pemerintah setempat untuk terus membantu para nelayan-nelayan kecil, kesejahteraan hidup nelayan masih sangatlah rendah bahkan bisa dikatakan paling rendah, tunjangan kesehatan dan pendidikan sangat membantu mereka saat ini. Khususnya bagi anak-anak para nelayan.

********************

Sore itu, Sabar tengah termenung di teras kayu rumahnya, pandangan matanya tertuju ke arah laut, nanar dan sayu. Tubuh dan kepala anak itu di belai lembut angin laut yang datang tanpa henti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun