Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polri Telah Melanggar UU Perlindungan Anak dengan Tidak Mengeluarkan SKCK bagi Anak yang Ikut Unjuk Rasa

16 Oktober 2020   08:06 Diperbarui: 16 Oktober 2020   08:28 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: TribunJakarta/Yusuf Bachtiar)

Siapa saja pihak yang berkepentingan bagi anak harus melihat fenomena anak ikut unjuk rasa bukanlah pelaku, tapi korban. Termasuk polisi dalam tindakan2 represifnya menyikapi publik yang berunjuk rasa Undang2 Cipta Kerja harus hati2 memperlakukan demonstran anak. Alih2 menganggap mereka pelaku, walakin polisi harus melihat mereka sebagai korban.

Undang2 Perlindungan Anak.

Yang dimaksud dengan anak berdasarkan Pasal 1 (1) Undang2 Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang2 Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Anak butuh perlindungan dalam tumbuh kembangnya, agar dapat hidup berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan ajakan2 sesat.

Berdasarkan Pasal 15 UU Perlindungan Anak, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial. Sehingga penangkapan oleh polisi dalam rangka mengamankan unjuk rasa UU Cipta Kerja harus diartikan sebagai untuk melindungi anak, bukan untuk menjadikan anak sebagai pelaku kejahatan. 

Undang2 telah mengamanatkan bahwa anak2 harus dilindungi dari penyalah gunaan dalam kegiatan politik dan pelibatan kerusuhan sosial. Apapun yang terjadi di lapangan dalam kerusuhan unjuk rasa anak adalah korban yang harus dilindungi. 

Tindakan apapun yang dilakukan polisi yang menjurus menjadikan anak sebagai pelaku dan tersangka dalam kerusuhan unjuk rasa UU Cipta Kerja adalah keliru. Tindakan yang benar yang harus dilakukan polisi adalah melacak media sosial, mencari pelaku yang telah mengajak anak untuk melakukan unjuk rasa. Pelaku yang mengajak tersebut yang senyatanya telah melakukan tindak pidana dan berdasarkan Pasal 87 UU Perlindungan anak dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp100jt.

Begitu juga anak2 yang dibawa ke arena unjuk rasa dengan bus atau truk, seharusnya sopir truk langsung diamankan, minimal sudah bisa dikenakan Pasal 55 KUHPidana, turut serta dan menyediakan sarana terjadinya kejahatan. Kemudian dalam pemeriksaan bisa lebih digali dari sopir tersebut untuk mencari "actor intelectualnya".

Ancaman bahwa anak yang ikut berunjuk rasa kemudian dicatat dan akan dijadikan catatan ketika mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) oleh polisi jelas2 polisi telah melampaui kewenangannya dan tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum. Apalagi keterangan Kapolres Depok yang tidak akan menerbitkan SKCK bagi pelajar yang tamat sekolah sehingga sukar untuk mencari pekerjaan nantinya. Lebih parah lagi ada wacana mengeluarkan anak2 yang ikut unjuk rasa dikeluarkan dari sekolah.

Ancaman2 sanksi yang akan ditimpakan kepada anak yang ikut unjuk rasa jelas merupakan perspektif yang keliru dari segi hukum. Polisi atau pihak2 yang ingin menghukum anak dalam konteks unjuk rasa bertentangan dengan Undang2 Perlindungan Anak yang butuh perlindungan. Seharusnya Polri dengan motto melayani dan melindungi adalah pihak yang terdepan secara UU melindungi anak, bukan justru menakuti2 dengan ancaman sanksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun