Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kursi Kosong di Kereta Tujuan Pondok Cina

30 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 30 Januari 2020   14:52 1783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Commuter Line Malam Hari, sumber: flicker.com/array064

Di tengah-tengah perbincangan, seorang Bapak yang duduk di depan kami, menyapa saya dan Olip dengan ramah, beliau bertanya dengan logat sunda, 'Adek turun di mana?'

'Kami turun di Pondok Cina, Pak.' jawab Olip.

'Masih jauh. Itu adik duduk aja di situ... (menunjuk ke kursi prioritas) masih kosong...'

'Iya, dik. Duduk di sana saja. Bangkunya kosong, ga ada siapa-siapa. Daripada berdiri, pegal.' timpal seorang Ibu yang duduk di sebelah Bapak tadi.

Saya dan Olip kaget, kami berdua saling menatap keheranan. Pertama, kami yakin betul, di kursi itu ada seorang kakek yang sejak tadi mengamati kami. Dan kedua, masih jauh apanya?

Pancasila ke Pondok Cina kan cuma dua stasiun? Paling cuma berapa menitan lagi sampai. Tak apalah, saya dan Olip berdiri saja. Lagipula saat saya menoleh ke arah kursi prioritas, kakek itu masih berada di sana, menatap sinis ke arah kami.

Jujur, setiap berkontak mata dengan kakek itu, tangan saya mendadak dingin. Wajah Olip apalagi! Ia bahkan sudah terlihat pucat sedari tadi. Tetapi kami masih berusaha saling menguatkan satu sama lain, bersikap seolah semua baik-baik saja. Saya pun berusaha menenangkan Olip, 'Dua stasiun lagi kok, Lip... Santai ya' Olip mengangguk.

Kereta terus melaju. Sesekali dari jendela terlihat, lampu-lampu yang menyala temaram. Perjalanan kami seharusnya tak sampai 10 menit untuk sampai di Pondok Cina, namun ketika saya memeriksa handphone, nyatanya kereta ini sudah berjalan selama lebih dari 20 menit. Anehnya lagi, kami bahkan belum melewati stasiun Universitas Indonesia!

Saya terpikir untuk menghubungi Depta, mengabari, kalau perlu meminta dijemput oleh ayahnya di stasiun terdekat. Namun entah mengapa, sinyal Telkomsel mendadak hilang saat itu. Saya tak bisa menggunakan handphone sama sekali. Olip pun sama.

Kami panik, namun berusaha tenang. Karena toh kami tak sendirian di kereta itu. Banyak orang yang juga menumpang di kereta yang sama. Dan yang janggal, hanya satu kakek itu saja yang duduk di kursi prioritas.

Tak berapa lama, kereta tiba di Stasiun Universitas Indonesia. Pintu terbuka, namun tak ada penumpang yang naik dan turun. Masih tetap kami di kereta itu. Dan lagi-lagi, penumpang di depan kami bertanya, 'Dik, itu kursinya kosong. Duduk saja. Turun di Pondok Cina kan? Masih jauh. Kalau berdiri nanti capek'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun