Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Juventus Vs AC Milan, Laga Akbar yang Ambyar?

10 November 2019   21:05 Diperbarui: 10 November 2019   23:47 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cristiano Ronaldo diapit Cristian Zapata dan Ignazio Abate pada laga AC Milan vs Juventus di San Siro dalam pertandingan Serie A Liga Italia, 11 November 2018. (AFP/MIGUEL MEDINA via kompas.com)

Seharian ini berseliweran cuitan di Twitter bernada mengejek, menyindir duel klasik antara Juventus melawan AC Milan, yang disebut-sebut sudah tak layak dianggap sebagai sebuah laga besar lagi. Terlalu timpang, pincang, dan bisa ditebak hasilnya. Tentu saya tidak setuju. Apa pasal

Juventus, walau sekuat apapun mereka, punya Ronaldo, Dybala, dan sekarang Ramsey, mereka tetaplah raksasa yang linglung, sering menganggap enteng lawannya, serta senang menyusahkan diri sendiri.

Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh, di musim ini saja, mereka sudah berkali-kali membuang poin penuh, dengan hanya bermain seri melawan tim-tim yang di atas kertas, bisa mereka kalahkan. 

Entah karena memang sedang sial, atau memang dasarnya mereka ber-"DNA Badut", selalu merasa ada yang kurang, jika belum menyenangkan banyak orang.

Kemudian Milan, seculun-culunnya kiprah mereka musim ini, mereka tetap tak bisa dianggap remeh. Mereka satu-satunya pemilik "DNA Eropa" di Italia. 

Badge of Honour UCL mereka terbanyak kedua setelah Real Madrid. Maka, jangan buru-buru meledek mereka dengan tim pra-sejarah dulu. Karena sering terbukti, kebanggaan atas pencapaian masa lalu, bisa membakar semangat sebuah tim untuk melibas siapapun lawan-lawannya.

Sekarang, kita bedah secara fair kekuatan Juve dan Milan. Saya akan mulai dari kedua juru taktiknya terlebih dulu, Sarri dan Pioli. Yang satu kepala batu, sementara yang satunya lagi, tak ada isi kepalanya. Setidaknya begitu, menurut kawan saya yang Milanisti.

Memang sih, sebatu-batunya Sarri, ia masih punya pakem taktikal yang sudah teruji. Sarri Ball namanya, mirip-mirip tiki-taka milik Pep, atau Gegen Pressing-nya Klopp, tapi yang ini kental dengan sentuhan Italiano, jadi ada sedikit catenaccio-nya. Yah, walau kadang tak berjalan baik juga.

Apalagi jika "trio ubur-ubur" ; Khedira, Matuidi & Bernardeschi tampil bareng. Kawan saya sesama Juventini sering menjulukinya Scary Ball, kadang juga Sorry Ball. Karena betul, penampilan Juve jadi lumayan horror karena ketiganya.

Sementara Pioli, strateginya mengawang-awang, berubah-ubah, seringkali cuma bermodal keberuntungan. Di satu sisi bagus, karena pola serangan Milan nyaris tak terbaca oleh lawan-lawannya. Cuma masalahnya yang ini, pemain sendiri juga ikut kesulitan membaca taktik pelatihnya sendiri.

Makanya saat menonton Milan bertanding, kita seperti sedang menyaksikan Twilite Orchestra, tapi bukan Addie MS yang memimpin. Melainkan Fadli Zon. Jangankan merdu, apalagi harmoni. Yang ada malah ambyar.

Sekarang kita ulas dari sisi pemain. Oke, saya akui, pada bagian ini memang agak timpang. Tapi saya akan coba seobjektif mungkin memberikan gambarannya. Dari penjaga gawang, misalnya. Juve punya Wojciech Szczesny (kita panggil saja dia-Tek biar cepet), sementara Milan punya Gigi Donarruma.

Secara pengalaman, Tek memang jauh lebih baik ketimbang Gigio. Tapi Tek lemah dalam koordinasi. Berkali-kali ia terlihat gagal mengomandoi rekan-rekannya di lini pertahanan.

Sedangkan Gigio, saya harus akui ia punya kemampuan yang lebih baik ketimbang Tek. Refleks bagus, postur badan yang memadai, namun satu saja kurangnya; ia sering tak konsisten.

Di lini pertahanan, Juve punya barisan bek bintang lima sekelas De Ligt, Alexsandro, Cuadrado & sang kapten dadakan, Bonucci. Sekilas memang menyeramkan, tapi tunggu sampai menit-menit jelang peluit panjang, entah itu di dekat rehat, atau di ujung laga.

Biasanya satu atau dua dari keempatnya sering mengalami "hilang sinyal", entah itu bengong, blunder, atau bahkan lupa kalau mereka itu sedang main, bukan lagi nonton.

Sedangkan Milan, walau tak bisa dibilang mewah, namun nama-nama seperti Romagnoli, Hernandez, Calabria & Duarte juga tak bisa dibilang medioker. 

Kalau saja dini hari nanti mereka bisa fokus, menjaga determinasinya selama 90 menit. Bukan tak mungkin, Ronaldo bakal makin sering kelihatan frustrasi. Tapi sekali lagi saya tegaskan, kalau ya... "KALAU!"

Di tengah, Juve termasuk tim yang sering menggonta-ganti komposisi pemainnya. Tapi biasanya, sevariatif apapun Sarri berekspresi di lini tengah Juve, menempatkan Pjanic sebagai regista, atau Ramsey sebagai trequartista. 

Khedira tetaplah yang jadi kunci. Tak terganti. Seperti kata Sapardi Djoko Darmono di bukunya 'Hujan di Bulan Juni' : "Yang fana adalah waktu, Khedira abadi." 

gilabola.com
gilabola.com
Kemudian Milan, mereka punya Paquetta, Suso, Krunic, dan gelandang favorit saya, Ismael Benaccer. Dengan komposisi begini saja, saya percaya sudah sangat cukup untuk mengimbangi lini tengah Juve.

Setidaknya dalam mensupport pertahanan dan sesekali melakukan serangan balik. Tapi lagi-lagi, kuncinya tetaplah fokus. Karena bagaimanapun, mereka bermain di Juventus Stadium, di hadapan puluhan ribu Juventini. Bukan di kandang mereka, Giuseppe Meazza.

Terakhir di lini depan, saya tak akan terlalu banyak mengulas Juve. Sebab tak ada lagi yang menarik dibahas, kecuali sikap Ronaldo yang kemarin ngambek, karena golnya "dicuri" oleh Ramsey. Selain itu nyaris tidak ada lagi. Saking istimewanya lini depan Juve, saya malah kesulitan menemukan apa yang perlu saya bahas.

Mari kita fokus pada lini depan Milan saja, bukan berarti mereka tak istimewa. Justru karena saya menemukan banyak sekali hal menarik di sana. Pada Piatek, misalnya. Musim lalu ia adalah salah satu bomber paling menakutkan di Serie A. Namun semenjak pindah ke Milan, sedikit demi sedikit, ia mulai menjadi striker yang 'unyu-unyu'.

Lucunya hal yang sama pernah terjadi juga pada Gonzalo Higuain, striker Juve yang musim lalu mendadak ompong di Milan, namun sekarang memiliki taring lagi semenjak kembali ke Juve. Entah apa yang salah? Seolah banyak pemain bagus, mendadak kehilangan sentuhannya saat berseragam merah hitam.

Saya bahkan khawatir jika Gundala keluar dari Bumi Langit Universe dan bergabung ke AC Milan, jangan-jangan ia akan menjelma jadi Atta Halilintar? Ahsiyaaap...

Tetapi sekali lagi, meski duel ini terkesan timpang & tak seimbang, selalu ada faktor X yang seringkali luput dari apa yang orang perhitungkan. Yakni faktor sejarah masa lalu, riwayat rivalitas, serta gengsi dua kota Turin dan Milan, yang pernah menjadi kutub sepakbola di Italia.

Orang boleh menilai duel Juventus dan AC Milan sudah bukan lagi laga besar. Terutama Juventini karbitan, yang seharian ini sesumbar, bahwa laga ini tak ubahnya seperti laga melawan Genoa atau Hellas Verona.

Tetapi bagi saya, yang telah menjadi Juventini sejak jaman Pak Prabowo masih tirus pipinya. Laga ini tetaplah laga besar yang sarat dendam, gengsi & pembuktian. Sekalipun nilai kemenangannya tetap sama, tetap tiga poin.

Tetapi bukankah, di dunia ini sudah tak ada lagi yang lebih menyenangkan untuk dibawa ke senin pagi, terkecuali hidung pesek & dagu bulatmu cerita mengenai keberhasilan Juve mengalahkan Milan dini hari nanti? Terlebih jika dibumbui kontroversi, minimal penalti 

***

Penulis sering menyembunyikan kegalauan di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun