Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Entah Apa yang Merasukimu, AC Milan...

28 Oktober 2019   21:14 Diperbarui: 29 Oktober 2019   16:36 3231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: @ac_milan

Okta, salah seorang rekan kerja di kantor saya, tadi siang memberi tebak-tebakan receh, "Setan, setan apa yang ga ada serem-seremnya?"

Tentu pertanyaan ini terlalu receh untuk tak dijawab. "Setan Merah cabang Italia, alias AC Milan!"

Karena pertama, sudah berbulan-bulan lamanya, setan yang satu ini menjadi bulan-bulanan. Kedua, jangankan seram, banyak klub justru tak sabar untuk bisa segera dihantui oleh setan yang ini.

Tapi tentu saya tidak menjawab begitu, karena Okta bukanlah perempuan yang menggilai sepak bola. Jangankan julukan klub, berapa jumlah pemain dalam satu kesebelasan saja, saya ragu dia mengetahuinya.

Maka daripada jawaban saya akan dibalas '#krik olehnya yang ga ngerti apapun tentang bola, saya lebih memilih menjawab "nyerah" saja, walau sebetulnya saya, dan kita semua tahu, tidak ada setan yang lebih lucu di alam semesta ini, selain AC Milan.

Kakak tiri dari klub sekota Inter Milan ini, sekarang memang sudah bukan lagi menjadi varian setan yang ditakuti, mereka lebih cocok diumpamakan sebagai hantu penunggu toilet pria, yang cuma mampu membuat mereka yang selesai kencing, merinding sekejap. Lalu setelahnya, tak terjadi apa-apa.

Sad but true, tapi begitulah Milan. Cuma sekadar mampu menunjukkan bahwa mereka ada. Tapi setelah itu? Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Bahkan kalau boleh jujur, nama baik setan jadi tercoreng karena reputasi klub ini.

Sekarang ini anak-anak kecil sudah sulit ditakut-takuti dengan kalimat "Hei, jangan bobok malem-malem, nanti ada setan!" atau "Jangan main di luar rumah pas maghrib, nanti diculik setan!" Mungkin salah satu alasannya ialah, karena anak-anak kecil mengasosiasikan setan dengan AC Milan. Miris sekali. Kasihan setan...

Apa yang terjadi dengan AC Milan sebenarnya merupakan sebuah anomali yang sulit dimengerti. Musim ini mereka punya skuad yang cukup mumpuni, manajemen yang paham mengelola keuangan, serta pelatih yang cukup lumayan, Stefano Pioli.

Setidaknya, pelatih yang ini sudah punya pengalaman melatih dibanding pelatih-pelatih terdahulu.

Dengan modal ini, sesial-sialnya Milan, paling apes, semestinya mereka masih bisa bertengger di posisi 6 besar. Tapi faktanya, Milan justru tercecer di golongan menengah ke bawah klasemen. 

Jangankan mimpi untuk menyalip Juventus, menyentuh bayangan Cagliari saja mereka tak bisa. Per-pekan ke sembilan ini, mereka tercecer di posisi 12, satu tingkat di bawah Torino.

Saya yang sewaktu kecil pernah menjadi Milanisti, terus terang menjadi sedikit penasaran, mencari tahu mengenai apa yang tengah merasuki Milan. Tapi menemukan Milanisti yang berwawasan luas dan asik untuk berdiskusi, ibarat mencari berlian di kepengurusan PSSI. Ada, tetapi susah.

Beberapa teman saya yang Milanisti, sekarang ini mulai malas jika hendak diajak berdiskusi mengenai kondisi tim kesayangannya. Ditambah pula semenjak mantan pacar saya, Gisela Anastasia, sudah tak lagi aktif di Twitter, saya mulai jarang, bahkan hampir tidak pernah lagi mencari-cari tahu mengenai AC Milan. 

Kebanyakan Milanisti memang masih sulit mengakui, bahwa klub mereka sudah tak sebesar dulu. Sewaktu NKRI masih dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Berbekal googling, saya mulai mencari-cari sendiri, apa yang kurang dari klub yang mengklaim DNA-nya paling Eropa ini. Tapi sebelumnya, mari kita mundur terlebih dulu, kembali ke beberapa musim lalu, tepatnya di musim 2010-2011, ketika Milan masih dikomandoi sang mantan terindah bagi para Juventini, Massimiliano Allegri.

Saat ditangani Allegri, Milan sebetulnya sudah mulai menunjukkan gejala-gejala akan karam. Dari mulai skuad yang termakan usia, hingga beban gaji yang tak imbang dengan pemasukan klub. Pelan tapi pasti, Milan pun mulai pincang, tertatih, sampai akhirnya kesulitan berjalan sampai hari ini.

Kalau saja bukan Allegri yang menukangi Milan saat itu, saya percaya, Milan bisa saja lebih cepat karam sampai ke dasar. 

Dengan kepekaan taktikalnya, Allegri berhasil memperlambat karamnya Milan dengan memanfaatkan skuad seadanya, bahkan Allegri sempat membawa Milan menjuarai Liga Italia di musim perdananya.

Sayang, kebocoran Milan sudah terlalu banyak untuk bisa ditambal oleh Allegri. Satu per satu pemain bintang dipaksa angkat kaki demi menyelamatkan keuangan klub. 

Allegri kian tak berdaya. Milan pun sedikit demi sedikit tenggelam, dari atas lautan yang pernah amat begitu dikuasainya.

Di tengah-tengah situasi sulit yang menimpa Milan saat itu, lucunya hampir semua Milanisti justru kompak menyalahkan Allegri sebagai biang keladi dari keterpurukan Milan. 

Yang paling kejam, tentu, ketika mereka menyematkan julukan "Aleoker" bagi Sang Nakhoda. Sesuatu yang beberapa tahun kemudian begitu disesali secara berjamaah oleh diri mereka sendiri, sebab Allegri justru sukses besar bersama Juventus.

Sepeninggal Allegri, Milan sudah kian tak terselamatkan. Di atas lapangan, performa mereka semakin buruk. Di luar lapangan, lebih parah lagi! Hutang klub kian menumpuk, sementara sang pemilik saat itu, Silvio Berlusconi, tak lagi bisa berbuat banyak. 

Ketika sudah tak ada lagi pemain bintang yang laku dijual, ia hanya bisa berjudi, menambal sulam keuangan klub, dengan mencari sumber utang baru.

Tak cukup sampai di situ, bahkan saking kisminnya Milan, bus untuk mengangkut pemain mereka pun sampai harus dijual. Ah, andai saja waktu itu ada yg berinisiatif me-mention "@awkarin please do your magic!" Pasti busnya tak perlu sampai dijual.

Namun dari sekian banyak kemalangan yang menimpa Milan, mereka patut bersyukur, masih memiliki sesuatu yang memiliki nilai jual; yakni nama besar mereka sendiri. 

Sehingga ketika pada akhirnya Berlusconi memutuskan untuk melepas kepemilikannya di AC Milan, tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan pembeli yang mau membayar mahal.

Adalah Hong Li, pengusaha asal Tiongkok yang pada April 2017 lalu, secara heroik mau menggelontorkan ratusan juta Euro untuk menebus Milan. Tak cukup sampai di situ, ia pun dengan entengnya menghamburkan ratusan juta Euro lagi, guna membeli banyak pemain baru. 

#WeAreSoRich kata para Milanisti saat itu. Bahkan di salah satu kesempatan laga uji coba pra musim melawan Juventus, Hong Li sampai menanyakan harga jual Paulo Dybala. Horang kayaaaah...

Awan hitam seolah memang telah berlalu dari langit Milan saat itu. Uang sudah bukan lagi masalah. Nyaris seluruh Milanisti ketika itu merasakan euphoria OKB ala-ala fans City & PSG. 

Bahkan, saya masih ingat persis, ada salah seorang teman dekat saya yang Milanisti sampai berujar, 'Siap-siap ya, Milan bakal bangkit & Juve bakal jadi badut lagi.' (Ngomong-ngomong, saya jadi kangen temen saya itu, ke mana ya orangnya?)

Ya, pada akhirnya kita semua tahu, apa yang terjadi pada Milan ketika itu, tak ubahnya kisah cinta saya sebuah cerita indah dari dongeng Cinderella, yang harus terhenti di lonceng jam ke-dua belas.

Kenyataan hidup kadang  tak semanis bermain di Bee-Bee Land. Belakangan kita tahu, bahwa cerita menyenangkan Milan, justru dirangkai di atas sebuah kebohongan. 

Rupanya sang pemilik baru, Hong Li, tidak pernah benar-benar membawa Milan kembali ke permukaan. Ratusan juta Euro yang ia gelontorkan untuk Milan, rupanya adalah hasil dari kepiawaiannya mendapat hutang-hutang baru.

Sialnya adalah, hutang-hutang ini memiliki nominal bunga yang lumayan besar, ditambah lagi, kewajiban ini harus segera dilunasi dalam jatuh tempo yang amat singkat.

Hong Li yang notabene adalah seorang pebisnis ulung, kali ini justru tersandung oleh kegegabahannya sendiri. Ia salah berhitung, lupa bahwa sepak bola bukanlah matematika.

Barangkali di benaknya saat itu, dengan mengucurkan banyak uang, Milan akan otomatis langsung berprestasi. Ia lupa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain, hal-hal kecil semisal; Juventus yang sudah pulih dari luka-luka Calciopoli.

Li yang awalnya dianggap sebagai juru selamat, nyatanya justru semakin banyak menambah kebocoran Milan, dan membuat Milan kian cepat karam menyentuh dasar. 

Semenjak itu pula, kondisi Milan menjadi kian tak menentu. Kepemilikan klub pun diambil alih oleh Elliott Management, sebuah firma permodalan yang mendanai seluruh hutang-hutang Hong Li dulu.

Dua kali berganti kepemilikan dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, rupanya tak lantas membuat Milan kembali membaik. Mereka masih terus diliputi berbagai kesulitan-kesulitan baru. Performa mereka di atas lapangan pun tak kunjung menemukan tanda-tanda kemajuan. Padahal kurang apa lagi Milan? 

Musim ini mereka punya striker haus gol sekelas Krzysztop Piatek, mereka juga diperkuat oleh pemain terbaik Piala Afrika 2019, Ismael Bennacer. Bahkan gawang mereka pun dijaga oleh penerus Buffon, Gianluigi Donnarumma. Mereka punya prasyarat yang cukup untuk menjadi setan yang ditakuti.

Pertanyaan besarnya sekarang, apa yang membuat setan ini kehilangan kemampuan, bahkan sampai lupa bagaimana caranya menakuti lawan-lawannya? Milan seolah sudah tak semenakutkan Genderuwo, Buto Ijo, atau Kuyang. Milan kini tak ubahnya seperti sosok Casper, hantu yang ramah, baik hati & senang berbagi poin.

Sejujurnya, ketiadaan Milan dari peta persaingan kompetisi Serie A, cukup membuat saya merasa amat kehilangan. Saya rindu dengan berisiknya Milanisti yang selalu sesumbar di hampir sepanjang pekan. 

Saya rindu sebutan-sebutan mereka untuk Juve, seperti Jupantat, Juskentut dan lain sebagainya. Jujur, hal-hal semacam ini cukup berhasil membuat saya tertawa, dan makin menikmati aroma rivalitas. 

Bahkan saya juga merindukan tuduhan-tuduhan halu seperti; Juve curang, Juve dibantu wasit, Juve nyogok, dll.

Ya, saya benar-benar kehilangan nuansa rivalitas dengan para Milanisti. Saya rindu sekali melihat Milan kembali menjadi lawan yang menyulitkan bagi Juventus. 

Sekarang ini, menang dari Milan tak ubahnya menang dari Salernitana, Perugia & tim-tim semenjana lainnya. Tak ada kepuasan apapun. Hanya sekadar menang, mendapatkan 3 poin. Lalu, selesai. 

Itulah mengapa saya menuliskan tulisan sepanjang ini. Bukan karena kurang kerjaan, tapi sebagaimana rindu yang tak mengenal keadaan, mau tak mau, rindu harus segera saya sampaikan. Sepahit apapun hasilnya.

Rindu juga membuat saya berdoa. Ya, bahkan Juventini seperti saya pun bisa sampai mendoakan yang terbaik bagi AC Milan. Serius, walau terdengar tak serius. Tapi saya percaya, doa selalu bisa mempertemukan rindu, sekalipun terpisahkan oleh jarak sejauh Bima Sakti & Aldebaran.

Saya pun percaya, Liga Italia akan jauh lebih sehat, jika Milan kembali ke jalur juara. Maka lewat tulisan ini juga, saya mengajak kita semua, untuk berdoa kepada Tuhan YME, mendoakan yang terbaik bagi AC Milan. 

Walau jika dipikir-pikir, lucu juga berdoa kepada Tuhan, terlebih kita mendoakan yang terbaik bagi setan.

Ohya, terakhir. Untuk menutup tulisan ini, saya kembali ke pertanyaan tebak-tebakan Okta, 'Setan, setan apa yang ga ada serem-seremnya?'

Jawabannya adalah "Setan(g)kai mawar merah dari kamu".

Ga lucu 'kan? Saya pun nyesel tadi ga langsung jawab AC Milan...  :((

***
Penulis biasa dihujat di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun