Mohon tunggu...
Sera Wibisono
Sera Wibisono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ada Apa dengan Penanggulangan Bencana di Indonesia?

27 Desember 2018   00:36 Diperbarui: 27 Desember 2018   00:52 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sepertinya tidak bisa menghadapi hari tenang. Pasalnya hingga menjelang akhir tahun 2018 pun, negara ini masih saja dilanda bencana alam yang tidak tanggung-tanggung.

Dari laman resmi Badan nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),  tercatat hingga November 2018 telah terjadi 2.308 kejadian bencana yang menyebabkan 4.201 orang meninggal dunia dan hilang. Bencana yang paling baru adalah tsunami yang menimpa daerah sekitar Selat Sunda khususnya Banten dan Lampung bertepatan dengan Hari Ibu tanggal 22 Desember kemarin.

Menurut Dr. Sutopo Purwo Nugroho yang merupakan Kapusdatin BNPB pada tahun 2016, dunia internasional sudah memperkirakan bencana akan meningkat karena beberapa faktor. Meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan dan pengaruh pemanasan global merupakan lima besar faktor utama penyebab meningkatnya bencana di seluruh dunia.

Dalam kasus Indonesia sendiri, Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi. Meski bencana alam di Indonesia tergolong sangat tinggi, menurut data yang diperoleh dari World Risk Index yang dibuat oleh United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) pada tahun 2016, Indonesia berada dalam 30 besar negara-negara dengan potensi bencana alam tertinggi.

Namun, di samping merupakan salah satu negara dengan risiko paling banyak terhadap bencana alam, Indonesia masih tidak dapat belajar dari kesalahan. Menurut laporan dari IRIN News, Indonesia memiliki 22 jaringan pelampung yang seharusnya menjadi pendeteksi tsunami dini, namun sistem tersebut tidak beroperasi sejak tahun 2012.

Selain itu, sistem tersebut hanya dapat mendeteksi tsunami dari gempa bumi, bukan dari aktivitas vulkanik maupun longsor di bawah permukaan. Padahal dari situlah penyebab tsunami yang terjadi di Selat Sunda kemarin. Tidak hanya itu, sistem pendeteksi tsunami kemarin pun gagal berbunyi pada saat tsunami di Sulawesi Tengah kemarin karena menara jaringan telekomunikasi rusak.

Hal ini menggambarkan betapa manajemen persiapan bencana di Indonesia masih belum seberapa dibandingkan dengan Jepang. Bahkan, Undang-Undang Penanggulangan Bencana pun tergolong masih baru, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pun baru dibentuk tahun 2008.

Pemantiknya tentu saja adalah tsunami di Aceh pada tahun 2004. Sepertinya memang harus terbentuk pengalaman traumatis terlebih dahulu untuk memantik dikembangkannya sistem yang lebih baik.

Meskipun sistem yang baik sudah dikembangkan sekalipun, akan percuma apabila masyarakat tidak diberi sosialisasi yang mumpuni mengenai bencana, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Menurut United Nations Development Programme di Indonesia, selain faktor geografis serta infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya kewaspadaan masyarakat menjadikan dampak bencana semakin besar.

Menurut ahli mekanik gempa bumi dari Asia Disaster Preparedness Center, Peeranan Towashiraporn menyatakan bahwa yang menjadi masalah di Indonesia bukanlah ilmuwan lokal ataupun badan nasional meterologi yang tidak mempunyai wawasan yang cukup mengenai geologi dan seismologi negaranya, akan tetapi jurang pengetahuan antara informasi yang dibuat oleh para ahli tersebut yang tidak dapat diserap oleh banyak orang. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga beberapa negara lainnya.

Wilayah Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang paling rawan terhadap tsunami, oleh karena itu tidak ada salahnya waspada sejak dini. Wilyah pulau Jawa bagian Selatan merupakan daerah rawan terhadap tsunami. Potensi gempa 10,8 SR di Jawa Barat dpat menimbulkan tsunami dengan ketinggian 10 meter dengan waktu datang tsunami hanya 20 menit setelah gempa bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun