Mohon tunggu...
Hana Hamidah
Hana Hamidah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Saya Hana Hamidah, biasa dipanggil Hana, dan saat ini berusia 22 tahun. Saya adalah mahasiswi semester 5 di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, jurusan konseling pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Mahasiswi semester 1 di Safwa University Mesir, jurusan syariah. Soft skill yang saya miliki antara lain komunikasi yang efektif, mahir menggunakan computer, dan kemampuan sebagai pendengar yang baik, serta beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hobi saya adalah travelling dan mentaddaburi alam indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

tradisi Dugderan, Meriahnya Penyambutan Ramadan di Semarang

7 November 2024   12:00 Diperbarui: 7 November 2024   13:18 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: JPNN.com Jateng

Dugderan: Tradisi Semarak Menyambut Datangnya Bulan Ramadan di Semarang

 

Jika Anda berkunjung ke Semarang menjelang bulan Ramadan, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan Dugderan! Tradisi yang penuh dengan warna ini telah menjadi bagian dari identitas Kota Semarang, Jawa Tengah, dan menjadi ajang berkumpulnya masyarakat untuk menyambut datangnya bulan suci dengan penuh suka cita. Mari kita kenali lebih dekat sejarah, prosesi, dan daya tarik Dugderan yang unik ini!

Kota Semarang merupakan kota yang memiliki banyak tradisi yang dipengaruhi oleh beragam etnis yang tinggal di sana. Beragam etnis ini menghasilkan banyak tradisi hasil akulturasi, salah satunya adalah Dugderan. Dugderan dimulai pada tahun 1881, saat Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat, Bupati Semarang, merasa perlu mengumumkan secara resmi kepada masyarakat bahwa bulan puasa segera tiba. 

Kala itu, masyarakat memiliki berbagai perbedaan dalam menentukan awal puasa. Dengan adanya Dugderan, pemerintah setempat bermaksud menyatukan pengumuman bulan Ramadan agar lebih seragam. Nama Dugderan sendiri berasal dari bunyi khas perayaan ini, yaitu “dug” dari dentuman bedug dan “der” dari suara petasan atau meriam yang ditembakkan. Bunyi-bunyi ini menjadi lambang utama yang mengiringi pengumuman datangnya bulan puasa dan membuat acara ini semakin meriah.

Akulturasi Islam Budaya Lokal Dugderan di Semarang

Dugderan adalah tradisi dari Kota Semarang yang berasal dari akulturasi tiga etnis atau ras, yakni Arab, Tionghoa, dan Jawa. Berdasarkan hal tersebut, Dugderan merupakan salah satu tradisi yang melekat di masyarakat Kota Semarang. Tradisi ini berlangsung setiap menjelang bulan Ramadan dan telah menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Semarang. 

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk akulturasi yang terjadi dalam Dugderan serta menggali nilai-nilai Islam dan lokal yang terintegrasi dalam tradisi ini. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini, dengan pengumpulan data melalui studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dugderan mencerminkan perpaduan antara ritual keagamaan Islam, seperti pengumuman awal Ramadan, dengan elemen-elemen budaya lokal seperti pasar rakyat dan iring-iringan arak-arakan. 

Selain itu, simbol-simbol khas Dugderan, seperti Warak Ngendog, mengandung nilai filosofis yang menghubungkan kepercayaan Islam dan kearifan lokal. Akulturasi yang terjadi tidak hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga memperkaya kehidupan spiritual masyarakat. Dengan demikian, Dugderan dapat dilihat sebagai contoh harmoni antara agama dan budaya lokal di tengah dinamika modernisasi dan globalisasi.

Prosesi Unik Dugderan

Dugderan tidak hanya sekedar perayaan biasa, namun melibatkan berbagai prosesi tradisional yang khas. Beberapa bagian yang menarik perhatian dari Dugderan adalah :

  • Warak Ngendhog, Ikon Mistis Dugderan Salah satu daya tarik utama Dugderan adalah Warak Ngendhog, patung berbentuk hewan mistis yang merupakan simbol toleransi dan keragaman budaya Semarang. Warak adalah makhluk unik dengan perpaduan karakter naga (budaya Tionghoa), kambing (budaya Arab), dan burung (budaya Jawa). Warak Ngendhog menjadi maskot perayaan ini dan diarak keliling kota. “Ngendhog” yang berarti “bertelur” menjadi simbol harapan agar masyarakat dapat menghasilkan kebaikan selama Ramadan.
  • Pasar Dugderan Sebelum puncak acara, masyarakat dapat menikmati kemeriahan Pasar Dugderan. Pasar ini adalah festival perdagangan yang menyediakan berbagai macam mainan tradisional, makanan khas, dan pernak-pernik unik. Suasananya mirip dengan pasar malam yang penuh tawa riang dan kebersamaan, membuat Pasar Dugderan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi warga lokal maupun wisatawan.
  • Dentuman Bedug dan Meriam Nama Dugderan juga terinspirasi dari suara “dug” dan “der” yang berasal dari bunyi bedug dan meriam. Pada puncak perayaan, dentuman ini menjadi simbolisasi bahwa bulan puasa akan dimulai. Suara bedug juga melambangkan panggilan kepada masyarakat untuk segera mempersiapkan diri menjalani Ramadan dengan hati yang bersih dan niat tulus.
  • Kirab Kota dan Pakaian Tradisional Dugderan dimeriahkan dengan arak-arakan atau kirab kota yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Para peserta mengenakan pakaian adat dan membawa berbagai ornamen khas Dugderan, termasuk Warak Ngendhog yang diusung dalam iring-iringan. Kirab ini tidak hanya sekadar parade, tetapi juga menjadi momen kebersamaan dan pengingat akan nilai-nilai tradisional yang hidup di tengah masyarakat modern Semarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun