Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sedikit Kisah Berjuang Melawan "Impostor Syndrome" yang Saya Idap

20 Januari 2020   14:04 Diperbarui: 24 Januari 2020   18:25 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun lalu membuat saya tertekan. Saya tengah berjuang lepas dari bayang-bayang impostor syndrome. Keadaan dan lingkungan terasa semakin memberatkan.

Tetapi saya beruntung, dapat menemukan buku yang sangat merepresentasikan hal tersebut. Sebuah novel berjudul A untuk Amanda. Saya memang banyak belajar dari buku.

Impostor syndrome adalah keadaan di mana seseorang meragukan kemampuan diri sendiri. Pencapaian yang dia dapat seolah-olah hanyalah sebuah keberuntungan.

Lebih-lebih, dia takut kalau suatu saat orang lain menganggapnya sebagai penipu. Tampak cemerlang, tetapi sebenarnya tidak bisa apa-apa.

Sindrom tersebut bukanlah sebuah gangguan jiwa, karena semua orang pasti akan mengalami setidaknya sekali dalam hidup. Namun, kalau berlangsung dalam waktu lama seperti yang saya alami, maka sangat berpotensi menyebabkan depresi.

Ada banyak penyebab seseorang mengalami impostor syndrome, tetapi yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga yang menuntut kesempurnaan dan kepribadian ambisius yang mendambakan kesempurnaan. Apakah yang terjadi pada saya disebabkan oleh kedua faktor tersebut? Tidak.

Keluarga saya tergolong cukup santai, tidak memaksa anaknya harus begini dan begitu. Lalu, ambisius? Tidak juga.

Saya tipe orang realistis dan tidak menyukai kenaifan. Saya memandang kehidupan bukanlah sesuatu yang mudah dijalani. Ketika seseorang mengetahui banyak hal, bukan berarti mudah menjalani kehidupan.

Faktor yang menimbulkan impostor syndrome pada diri saya adalah kurangnya penghargaan. Dalam lingkup pertemanan, saya merasa pendapat saya tidak dipertimbangkan. Saya merasa bergaul dengan orang yang ingin dominan. Itu sangat mengganggu psikis saya.

Ada banyak hal dalam pikiran saya, tetapi saya terpaksa harus bungkam. Saya tidak ingin apa yang saya sampaikan berakhir sia-sia oleh penolakan.

Pikiran-pikiran yang tidak tersampaikan itu akhirnya menumpuk seperti sampah. Padahal, saya harus mengungkapkannya dengan berbagai alasan. Terlebih lagi, sebenarnya saya punya kapasitas untuk itu.

Permasalahan ini pun diperparah dengan tipe kepribadian saya sebagai seorang melankolis dan INFJ-T yang intinya sekali saya "dicederai," saya enggan kembali. Saya benar-benar ingin berada di lingkungan yang dari awal menganggap saya berarti.

Impostor syndrome pada akhirnya membuat saya menjadi pribadi yang rendah diri. Anehnya, saya sangat menikmati momen di mana saya merendahkan diri saya sendiri.

Saya merasa itu adalah tindakan yang realistis. Untuk apa berbangga diri kalau belum sampai di puncak. Belum ada pengakuan yang sah.

Lagipula, saya selalu ingat perkataan bahwa ilmu manusia di dunia hanyalah seperti setetes air di luasnya samudra.

Pertengahan tahun ini nilai semester saya mulai keluar satu per satu. Kalau dijumlahkan, saya mendapatkan IPK 3,92 pada jenjang pascasarjana.

Apakah saya bangga? Tidak, karena saya merasa mudah untuk mendapatkannya.

Selain itu, apalah saya ini yang tidak bisa apa-apa di mata orang lain. Pastilah mereka juga meraih pencapaian yang hampir sempurna itu. Ada hal yang bertentangan dalam pikiran saya, tetapi mereka menjadi satu kesatuan yang menghancurkan.

Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi impostor syndrome, yaitu menanamkan pemikiran bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, berbagi ilmu pada orang lain, dan bercerita pada orang terpercaya. Terasa mudah, tetapi lagi-lagi bergantung pada lingkungan, respons orang lain terhadap diri kita.

Tahun ini saya sudah mulai mengerjakan tesis. Saya rasa momen ini dapat saya gunakan untuk membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu.

Saya berniat untuk lebih menjadi pribadi yang lebih individual, tetapi saya tidak menolak diajak bergabung, meski interaksinya akan tetap mencederai saya.

Saya tidak tahu kapan akan lepas dari impostor syndrome. Saya hanya harus tetap bergerak. Ya, berpikir dan bergerak tanda kehidupan. Penciptaan dalam diam. Saya akan tetap merasa bahwa saya tidak bisa apa-apa, tetapi setidaknya saya enggan terdiam di garis start.

Meski nanti saya sampai di garis finish, bukan berarti saya cemerlang. Saya selamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun