Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal UMP Daerah Istimewa Yogyakarta yang Senantiasa Paling Rendah

23 November 2018   18:12 Diperbarui: 23 November 2018   19:03 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.attaubah-institute.com

"Kerja di Jogja itu susah mas kalo gak disambi usaha atau sambilan lain."

Kata rekan kerja saya, dua tahun yang lalu. Dia dan saya bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan kursus IT di Jogja. Selain menjadi karyawan, rekan saya ini juga punya usaha sampingan memproduksi telur asin bersama istrinya.

Sang istri pun juga bekerja pada sebuah kampus negeri di Jogja. Hanya dengan sama-sama bekerja dan sama-sama berwirausaha, kedua pasangan suami istri ini bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sembari sedikit menabung untuk menyambut sang buah hati.

Perusahaan tempat saya dan rekan kerja saya ini begitu pas berada di perbatasan antara Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Maka itu, bos kami memutuskan untuk merujuk pada UMK Sleman dalam mengatur gaji karyawannya, karena lokasi kantor juga sedikit lebih ke daerah Sleman daripada Kota Yogyakarta.

Bukan berarti gaji kami mentok UMK, namun memang karyawan paling baru yang akan masuk di sini dikenakan gaji tidak jauh dari UMK Sleman. Barulah ketika sudah bekerja cukup lama, gajinya naik dengan sangat pelan-pelan.

Saya dan rekan saya sudah bekerja di perusahaan ini dua tahun, alhamdulilah gaji sudah agak cukup tinggi di atas UMK, tapi tetap saja harus gotong-royong nyambi usaha atau sambilan di tempat atau kesempatan lain jika ada. Karena dengan gaji agak di atas UMR pun, kebutuhan sehari-hari masih akan ada, cicilan akan makin berat, apalagi jika sudah menikah dan berkeluarga.

Soal UMP dan UMK, memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta selalu menjadi yang terkecil di Indonesia. Di tahun 2019, UMP DIY tetapkan sebesar Rp. 1.570.922, jumlah ini lebih kecil dari tetangga kita Jawa Tengah yang mencapai Rp. 1.630.059.

Bahkan jika diasumsikan UMP tahun 2019 akan naik sebesar 8,03% sesuai instruksi Kementerian Tenaga Kerja, maka NTT kemungkinan akan menetapkan UMP sekitar sebesar Rp. 1.793.293.

Fakta ini pun sudah lama ada dan mulai diakui warga Jogja sebagai kewajaran.

Bahkan jika mau melihat lebih dalam lagi, besaran UMK yang ditetapkan di tiap kabupaten di DIY juga tidak terdengar menggembirakan.

Untuk Kota Yogyakarta, besaran UMK yang telah disepakati sebesar Rp. 1.846.400.00.

Kabupaten Sleman, UMK yang disepakati sebesar Rp.1.701.000.00.

Untuk Kabupaten Bantul telah disepakati sebesar Rp.1.649.800.00.

Sedangkan di Kabupaten Kulonprogo disepakati sebesar Rp.1.613.200.000

Kabupaten Gunungkidul disepakati sebesar Rp.1.571.000.00.

UMK Kota Yogyakarta yang paling tinggi saja masih bisa dikalahkan oleh UMP NTB yang sebesar Rp. 2.012.610. Sehingga demi mendapatkan gaji sebesar 1.8 juta saja, seorang warga DIY harus mati-matian mendapat kerja di Kota Yogyakarta. Jika alamat tempat kantor perusahaan berada tidak di kota, melainkan hanya beberapa meter saja ke daerah Sleman atau Bantul, hilang sudah selisih gaji 100-200 ribu, yang tentu terasa tidak sedikit.

Kenapa kondisi seperti ini bisa terjadi?

Ada banyak faktor yang mempengaruhi UMP di suatu provinsi dan UMK di suatu Kabupaten. Salah satunya yang paling utama tentu asumsi Kebutuhan Hidup Layak yang diteliti dengan berbagai macam survei. Dengan survei ini, kebutuhan hidup masyarakat dihitung dengan seksama agar bisa didapat angka upah minimal yang layak diterima pekerja.

Selain itu, ada pula asumsi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Jika pertumbuhan ekonomi dinilai baik dan produktif, tentu sangat layak jika UMP dinaikkan. Inflasi juga menjadi  bahan pertimbangan untuk menaikkan UMP.

UMP ditentukan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah provinsi setiap tanggal 1 November. UMK ditetapkan atas rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan Bupati/Wali Kota setiap tanggal 21 November dengan merujuk pada UMP.

UMK tentu saja tidak boleh kurang dari UMP, biasanya sudah pasti UMK lebih tinggi dari UMP. Nantinya hasil penetapan ini akan mulai berlaku 1 Januari di tahun berikutnya melalui Peraturan Pemerintah yang ditandatangani presiden.

Dengan metode penetapan upah seperti itu, memang terjadi banyak kontroversi yang menyertainya. Pemerintah daerah DIY melalui Dewan Pengupahan Provinsi memang merujuk pada data BPS mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan Kebutuhan Hidup Layak.

Namun, keputusan penetapan ini dikritik banyak pihak. Salah satunya dari Tim Penanggulangan Kemiskinan DIY, yang menghitung bahwa minimal UMP berada di kisaran 1,7 juta rupiah. Angka ini didapat dengan berasumsi bahwa garis kemiskinan masyarakat DIY berada di angka pengeluaran 406 ribu rupiah per kapita.

Artinya, dalam sebuah keluarga yang memiliki empat orang anggota, minimal pendapatan yang diperlukan adalah Rp. 1.624.000 agar keluarga ini hidup layak.

Dengan asumsi hanya suami yang bekerja, maka penghasilan yang layak minimal adalah 1,7 juta rupiah.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta. Menurut organisasi ini, angka UMP yang pas adalah antara 2.5 sampai 3 juta rupiah. Angka ini didapat dengan memperhitungkan harga kebutuhan barang masyarakat DIY dari semua kabupaten dan kota yang ada.

Bukan rahasia lagi jika UMP menjadi salah satu penentu bagi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di kalangan masyarakat DIY. UMP dengan angka yang pas dapat membantu masyarakat hidup layak tanpa membebani pengusaha/perusahaan yang memberi upah.

Salah satu kendala pemerintah daerah dalam mengatur UMP memang melakukan riset terpadu mengenai kelayakan upah dan mengkoordinasi pihak yang terkait. Berhubung yang mengupah pekerja adalah perusahaan/pengusaha, maka pemerintah daerah pun harus bisa mengkoordinir mereka juga.

Pemerintah harus memiliki niat baik (good will) untuk melakukan dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Pastinya pekerja membutuhkan upah yang layak, sementara pengusaha perlu menjaga biaya produksi agar tetap bisa mencetak untung. Pertemuan ini harus dikoordinasi pemerintah sebagai mediator dan juri yang adil.

Menatap Pemilu 2019, memang banyak yang bisa kita harapkan. Melihat perubahan muka pemimpin politik bisa menjadi harapan akan adanya perubahan kebijakan pemerintah. Daerah Istimewa Yogyakarta kembali akan mengirimkan 8 orang perwakilannya untuk duduk di kursi DPR RI dan 4 orang untuk duduk di kursi DPD RI. Empat orang petahana DPD dari DIY maju kembali mencalonkan diri, namun ada tujuh orang calon pendatang baru yang juga ikut meramaikan kontestasi.

Salah satunya adalah Bambang Soepijanto, mantan Dirjen Planologi dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mengusung slogan "Ngayomi, Ngayemi, Ngayani", Bambang menghembuskan semangat keberpihakan terhadap masyarakat kecil alias wong cilik. Maka itu, angka UMP dan UMK Yogyakarta yang rendah juga menjadi sorotan bagi beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun