Mohon tunggu...
Politik

Menyapa Rezim Pembangunan(is)me

12 November 2017   04:19 Diperbarui: 12 November 2017   04:55 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini masyarakat indonesia dikuras pikiran dan perhatiannya oleh isu sektoral yang berbau politik-agama bahkan keseksian Alexis yang baru saja ditutup oleh gebernur DKI Jakarta baru-baru ini, begitu pula dengan arah media yang menghanyutkan kita kedalam isu yang tidak membangun pada zaman rezim pembangunanisme ini.

Kita mengetahui bahwa hampir disetiap rezim memiliki program unggulan dan pencapaian untuk mencapai kepuasaan pemilih yakni Masyarakat (Public), begitu pula Jokowi-Jk dengan nawacitanya yang didalam pencapaian itu kita dapat melihat dengan mata telanjang bahwa pemerintahan hari ini melakukan sebuah mimpi-mimpi lama yang terpendam lama didaerah-daerah tertinggal. Namun, kita juga harusnya tersadarkan bahwa hutang luar negeri antara kesepakatan bilateral itu menimbun harapan Jargon Revolusi Mental itu sendiri.

Dalam era pembangunan infrastruktur  "kerja cepat" ini didasari oleh sebuah kekuatan modal untuk perkembangan ekonomi rakyat didaerah melalui jalur bebas hambatan seperti tol, kereta cepat, atau bahkan mimpi yang dikhayalkan yakni tol laut . tentunya ada pula alasan politis dibelakang itu, bahwa kesempatan memimpin hanya 2 periode saja, itupun jika terpilih dalam pemilihan yang akan datang.

Kita dapat melihat bahwa seakan-akan modal besar dari akad hutang luar negeri itu menjadi hal lumrah bagi pemerintah, pemerintah hari ini menekspansi dirinya dengan alasan-alasan "memperluas kesempatan kerja" "memperbesar pemasukan devisa negara melalui "Tax Amnesty" yang secara undang-undang telah diatur secara terstruktur. Dengan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi ini sangat jelas menjadikan kita sebagai masyarakat pelaku ekonomi harus lebih rasional , bahwa kemudahan infrastuktur hanya menjembatani para pemilik modal besar dan menyingkirkan para pemodal kecil , kita seakan harus menemui persaingan baru yang bisa dikatakan tidak seimbang itu.

Hari ini kita dipertemukan dengan sebuah cara pikir tidak rasional yang mengarahkan kita untuk menjunjung kesejahteraan dan bukan kebahagiaan, pemerataan pembangunan itu tidak melihat kekuatan otoritarian daerah, tidak pula melihat kemampuan sumber daya manusianya, dan hanya mengarah pada sumber daya alam untuk di eksploitasi habis-habisan. Hal ini terang bahwa elit politik gagal paham bahwa amanat menyejahterakan masyakat itu dengan pemanfaatan kekayaan alam secukupnya, bukan menguras atau bahkan harus mengambil resiko jika terjadi bentrokan horizontal antara masyarakat ber-modaldengan masyarakat tidak ber-modal, yang sama-sama harus berada di zona persaingan baru.

Mestinya sebagai negara yang mempunyai kekayaan alam itu tidak condong pada pemerataan pembangunan saja, namun lebih menguatkan sektor-sektor industri kecil yang jelas nyata belum terakomodasi dengan baik, hal ini agar ada kesiapan untuk bertahan bahkan mampu melawan kehendak investasi asing. Memutus mata rantai distribusi hasi tani dan memperkuat koperasi kerakyatan, indonesia harus segera menyadari lebih cepat, dan bergerak lebih cepat, apakah ini menjadi peran pemerintah saja? 

Tidak, ini adalah peran individu-individu yang sadar bahwa negeri agraria ini harus menjadi negeri makmur bukan hanya subur, bersaing dengan merobohkan dinding pemilik modal, dan ikut serta dalam mempertinggi peradaban. Politik Perekonomian menjadi poros "Pembangunan Sosial" bukan "Pembangunan Insfratruktur" saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun