Angin laut berembus pelan, menyapu wajah Munawwir Hady yang duduk termenung di beranda rumah dinasnya. Cahaya matahari sore mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di cakrawala. Di tangannya, ia menggenggam selembar surat berwarna kecokelatan, sudutnya agak lecek karena perjalanan panjang yang telah ditempuh. Surat dari Saribanong, yang baru sampai setelah tiga bulan dikirimkan.
Ia menghela napas, membuka surat itu dengan hati-hati, seakan-akan kertas itu terlalu rapuh untuk disentuh. Lalu matanya menyusuri tulisan tangan yang sudah sangat dikenalnya.
Munawwir, apakah kabarmu baik di sana? Aku tak tahu apakah surat ini akan sampai atau tidak, tapi aku tetap menulis. Aku rindu. Teramat rindu.
Munawwir menelan ludah. Rindu. Kata yang selama ini bersemayam dalam hatinya tanpa bisa ia ucapkan kepada siapa pun. Hidup di sebuah desa terpencil di kepulauan kecil, jauh dari kota, bukan hanya berarti terbatasnya fasilitas, tetapi juga memutus sebagian besar koneksi dengan dunia yang selama ini dikenalnya. Termasuk dengan Saribanong.
Ia ingin membalas surat itu saat ini juga. Tetapi apa gunanya? Surat yang ia tulis baru akan sampai setelah tiga bulan ke depan. Apakah Saribanong masih menunggu? Apakah perasaan mereka masih sama?
Dua tahun lalu, saat ia lulus dari Akademi Pemerintahan Daerah (APDN), Munawwir Hady begitu bersemangat. Menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah impiannya sejak lama. Namun, ia tak pernah menyangka akan ditugaskan di tempat yang begitu jauh dan terpencil. Kapal hanya datang sebulan sekali, dan sinyal komunikasi hampir tak ada. Satu-satunya cara berkomunikasi hanyalah lewat surat, yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sampai.
Dalam kesunyian itu, ia membaca ulang surat Saribanong, seolah ingin menghafalkan setiap kata.
Munawwir, ibu sudah mulai bertanya-tanya. Sampai kapan aku menunggu? Aku percaya padamu, tapi aku juga takut. Takut waktu mengubah kita, takut jika kau akhirnya terbiasa tanpa aku. Jika surat ini sampai, tolong beri aku jawaban. Datanglah segera meminangku. Karena kini ada beberapa laki-laki di kampung yang hendak meminangku.
***
Munawwir duduk di tepi jendela, memperhatikan burung-burung yang bertengger di ranting akasia tua di halaman rumahnya. Angin sore menyapu wajahnya, membawa aroma tanah setelah hujan. Matanya menatap kosong ke jalan tanah di depan rumahnya, berharap ada langkah kaki yang ia kenali. Tapi yang ada hanya bayangan panjang dari tiang kayu dan rerumputan yang bergoyang perlahan.