Aku terbangun dengan kepala yang terasa berat, seperti baru saja tertabrak truk. Perlahan, aku membuka mataku, tapi apa yang kulihat sama sekali tidak masuk akal.Â
Langit di atasku bukan biru, melainkan ungu kehijauan, dengan dua matahari yang bersinar terang—satu besar dan oranye, satunya lagi kecil dan kebiruan.Â
Aku menggosok mataku, berharap ini hanya mimpi, tapi udara dingin yang menyentuh kulitku dan bau tanah yang asing membuatku yakin ini nyata.
"Di mana aku?" gumamku, mencoba bangkit dari tanah berumput yang anehnya berwarna keperakan. Rumputnya lembut, tapi setiap helainya seperti memancarkan cahaya redup. Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa aku berada di tengah hutan, tapi pepohonan di sini bukan seperti pohon biasa.Â
Batangnya tinggi dan ramping, dengan daun yang berkilauan seperti kristal. Suara gemericik air terdengar di kejauhan, tapi suara itu seperti memiliki nada melodi, seolah alam sekitar ini sedang bernyanyi.
Aku mencoba mengingat bagaimana bisa sampai di sini. Ingatanku terasa kabur. Aku ingat sedang berjalan pulang dari kampus, lalu ada cahaya terang—seperti kilat—tapi setelah itu, semuanya gelap. Dan sekarang, aku ada di tempat yang sama sekali asing.
Tiba-tiba, suara gemerisik membuatku menegakkan badan. Dari balik pepohonan, muncul sosok makhluk yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Â
Makhluk itu seperti manusia, tapi tingginya hampir dua meter, dengan kulit berwarna perak kebiruan dan rambut panjang yang berkilau seperti benang emas. Matanya besar dan berwarna ungu, memancarkan kecerdasan dan keingintahuan.
"Kau bangun akhirnya," ujar makhluk itu dengan suara yang lembut namun berwibawa. Bahasanya asing, tapi entah bagaimana aku bisa memahaminya.
"Siapa... siapa kamu?" tanyaku, masih merasa tidak percaya.