Mohon tunggu...
Hamus Rippin
Hamus Rippin Mohon Tunggu... -

Hamus Rippin, dilahirkan di Murante, Luwu, Sul-Sel, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Selamat Tinggal Tumpah Darahku

8 April 2014   22:00 Diperbarui: 19 Januari 2016   14:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

By: Hamus Rippin

Sudah hampir dua bulan tidak banyak orang tahu mengenai kegiatan Kelana diluar jam kantor, jam kerja dinas. Halnya tidak sama berberapa bulan terakhir. Kelana kelihatan aktif, sibuk dan kegiatannya banyak diluar kantor.

Teman sejawatnya dikantor mengerti hal ini, karena Kelana mendapat tugas khusus dari atasannya. Dia dipercayakan meliput dan melapor kegiatan masyarakat dalam bidang tertentu langsung kepada atasannya, baik didalam kota maupun diluar kota, dalam wilayah daerah tugasnya. Antara Makassar dan Palopo, teman-teman sekantornya mengistilakan, Kelana menjadikan jarak antara dua kota ini seperti tangga saja, bolak balik.

Beberapa hari terakhir, dalam waktu dua minggu, Kelana tiga kali berangkat ke Makassar. Salah seorang teman kerja Kelana dari bahagian lain, mengaku pernah bertemu dia ditempat tertentu di Makassar dan bercerita di kantor tempat kerja mereka. Teman kerjanya ini mengaku pernah melihat Kelana di kantor Imigrasi di Makassar dan sebelumnya ada juga temannya yang kebetulan ke Makassar, sepulangnya, dia menanyakan kepada teman-temannya, mengapa Kelana pernah ia lihat dikantor pajak urusan piskal.

Beberapa hari sebelum itu ia juga dilihat oleh beberapa orang temannya, Kelana sibuk-sibuk memoto kopy surat-surat, tetapi diantara orang-orang yang melihat dia sibuk, tidak ada yang bertanya kepadanya, gerangan apa yang Kelana sementara lakukan. Sekarang punya kesibukan lain dari pada biasa. Selain dari pada itu salah seorang juru bayar di kantor tempat kerjanya, mengaku akan membeli kendaraan Kelana bulan berikutnya dengan harga tiga puluh lima persen discount.

Bahagian arsip dikantor tempat kerjanya mengatakan pula Kelana pernah meminta pinjam arsip dokumen barang-barang Kerajaan (Arajanna Luwu) yang sejak tahun 1946 raib dari istana dalam peristiwa 23 Januari 1946. Menghilang dari dalam istana kerajaan Luwu di Palopo, pada waktu tentara Nica menyerang istana, karena raja dan pengawalnya tidak sanggup bertahan, mempertahankan istana, sehingga terpaksa meninggalkan tempat, tampa mengamankan barang milik kerajaan. Setelah peristiwa itu, semua benda-benda kerajaan hilang, tidak tahu rimba rayanya. Setengah hari kemudian Kelana mengembalikan dengan baik semua arsip dokumen yang dipinjam. Ia hanya sekedar membaca saja, atau mempelajari nama-nama barang dimaksud.

Dari tempat lain diketahui bahwa rumah milik Kelana sudah dijual, tinggal menunggu pembayaran dari orang calon pembeli dan sementara ia tinggal menginap dirumah sepupu. Mba Rahayu sudah disuruh pulang ke Sukadamai. Tapi tidak ada orang tahu persis apa sebenarnya yang bermain dibelakang semua ini. Kelana tidak pernah menceritakan kepada orang lain. Dan juga tidak ada orang bertanya kepadanya.

‘....Cintaku abadi padamu Kelana, tetapi hidup ini bukan membutuhkan hanya cinta dan kasih sayang dalam hati dan kata-kata dari mulut saja, tetapi harus dihadapi dengan kenyataan. Kenyataan hidup didunia memang kadang pahit, tetapi sepahit-pahitnya hidup toch harus ditelan. Karena tempa menelan rasa hidup dan kehidupan, kita tidak bisa mengarungi samudera hidup.’ Kelana membayakan kembali isi surat Jamilah. Jamilah adalah nama lengkap dari wanita yang pernah dikenal Kelana dengan nama panggilan ‘Mila’.

Surat Jamila diterima dan disimpan dalam tas bersama sepucuk surat lainnya tampa dibuka sebelum berangkat ke Belopa dalam menghadiri pesta perkiwanan Aliah sepupunya beberapa bulan lalu. Dimana pada malam itu sementara bercerita dengan Sarita, nama lengkat dari teman sekolah di SMP yang dipanggil Rita. Cerita dari Sarita yang menyedihkan karena masih dalam keadaan berbulan madu, suami Rita, Islamail Daeng Mattojang menghilang, meninggal dalam satu musibah, kecelakaan kapal motor kayu ‘Cahaya Cimpu’, yang mayatnya bersama dengan beberapa orang korban lain, tidak pernah ditemukan.

‘Sebenarnya semua isi hatiku sudah kucurahkan padamu, semua rahasia hidupku sudah kubocorkan padamu, semua hal yang kusembunyikan sudah kubuka padamu, padamu seorang Kelana. Tapi, setelah saya sadari hidup ini harus berlanjut, hidup ini mesti dihadapi dengan kenyataan, maka realita hidup ini saya harus tempuh dan tantang. Dan atas alasan ini maka saya putuskan untuk menikah dengan salah seorang laki-laki pilihanku yang kesekian kalinya. Maaf.

Namun pilihan ini hanya untuk mendampingi aku dalam hidup, menemani aku disaat sendiri, menghibur aku disaat sedih, menuntun aku disaat lemah..... , tetapi, sebagai mana saya sudah katakan dan hal ini akan kuulangi kesekian kalinya. Cintaku hanya untukmu seorang, dan namamu abang Kelana akan kuabadikan dalam hidupku ini, Kelana akan dipanggil jiwaku setiap saat dengan Abang.

Jadi abang Kelana kau akan abadi dalam hidupku dan abang tak akan kulupa, saya ulangi lagi tak akan kulupa sampai diri ini masuk keliang lahat, seandainya mungkin...ya, seandainya mungkin,....... ya cuma seandainya saja, kalau kita tidak dijodohkan pencipta kita didunia, engkau abang akan kuminta jadi pasangan hidupku didunia abadi, diakhirat kelak, engkau abang kekal dalam jiwaku, tetapi dalam kenyataan hidup, dalam hidup nyata, nampaknya jodoh yang tersurat dalam takdir yang digenggam baru lahir kedunia, lain dari pada yang kita berdua usahakan.

Sehingga usaha kita tidak pernah menemui titik persamaan. Abang mau padaku disaat aku tidak dalam keadaan siap. Aku bersedia menerima segala yang abang dulu inginkan dan tawarkan padaku lagi-lagi .. .... tidak terjadi apa yang kita harapkan berdua. Yaitu memadukan kasih sayang antara dua hati, dari dua insan yang saling membutuhkan.’ Kelana menggoleng-goleng kepala, ketika ia sudah duduk dalam pesawat terbang lepas landas dari airpor; bandara Hasanuddin Mandai Makassar terbang ke Jakarta, selanjutnya untuk melanjukan perjalanan keluar negeri.

‘Abang Kelana janganlah engkau menganggap aku menghianti cinta, saya tidak menghianati cinta kita. Cinta kita sudah abadi, cinta dari dua hati yang tulus, murni dan akan tetap bersemayam selamanya. Walaupun tubuh kita tidak ditakdirkan untuk bersua membangun bahtera rumah tangga, tetapi toch kita paling sedikit sudah pernah merasakan kebersamaan tubuh dunia insan yang berlainan kelamin.

Betapa nikmat perasaan kita berdua, perasaan yang akan saya kenang dalam hidup. Tetapi hal ini adalah kenangan belaka, karena yang kuhadapi nantinya adalah kenyataan lain. Lain dari perasaan yang menyelubungiku siang dan malam. Tanda tanya, sanggupkah aku menanggung beban hidup dari perasaan yang demikian? Justeru saya putuskan akan berangkat mengikuti suamiku ke Belgia. Suamiku bekerja pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussel. Di sanalah kami akan menetap.’

Kelana menampar kepala, menyebabkan orang yang duduk bersebelahan tempat duduk kaget memperhatikan perlakuan dari orang yang duduk disampingnya. Tetapi buru-buru Kelana menyadari hal yang dilakukan, kemudian dia menundukkan kepala sejenak. Dalam ingatannya terngiang lagi suara Emy dalam suratnya.

‘Kelana aku tidak menyesal pergi meninggalkan engkau. Sudah kutulis dalam suratku semua apa isi hatiku pada saat itu. Betapa hancurnya perasaanku, hati ini rasa luluh, ketika aku baca surat dari seorang kekasihmu Mila. Engkau memang pernah memperlihatkan surat itu padaku pada satu kesempatan, tetapi saat itu aku belum menghayati perasaan wanita. Perasaan wanita yang aku juga turut rasakan selaku kaum hawa. Kaum hawa memang lemah dalam kedudukan, tetapi bukan tidak bisa membalas dari pelampiasan perasaan dendamnya.

Saya tinggalkan engkau dulu dimasa kau tiada dirumah, penyampaiaku hanya melalui sudat saja. Itulah kata-kata yang dapat keluar dari hatiku pada saat itu. Saat dimana saya ingin membalas dendam. Mungkin sangat melukai hatimu dari apa yang saya tulis diatas kertas, tetapi memang orang bilang –lebih kejam pembalasan dari pada perlakuan- itu adalah pernyataan dari hati dendamku.

Saya berangkat ke Sorowako bersama dengan seorang pria teman sekolahku di Selatiga dan kami memang pernah pacaran masa sekolah kami. Sampai kami berpisah masih tetap pacaran, yang saat saya tinggalkan rumah kau, dia punya pungsi di Inco. Aku meminta fasa di Sorowako untuk cerai dari kau. Mas Jono mengawini aku setelah ketentuan membolehkan.

Namun dua bulan setelah kami kawin, mas Jono diberhentikan dari tempat kerjanya, di Inco, dan setelah itu ia menghilang, sampai sekarang belum pernah saya tahu keberadaannya, entah kemana dan dimana dia berada sekarang. Tetapi tak guna hal ini saya cerita kepada Kelana. Hanya ada satu hal yang semestinya sudah lama saya sampaikan kepada Kelana, tetapi belum pernah terjadi sebelumnya. Sekali ini saya beranikan diri untuk menyampaikan halnya, biarlah saya sampaikan halnya, percaya atau tidak, mau tahu atau acuh bukan jadi soal, tetapi sekedar memberi tahu saja...... sewaktu saya tinggalkan rumah, pergi dari Kelana, ternyata saya sudah hamil. Hamil dari anak Kelana.

Saya sudah dua bulan tidak haid waktu saya pergi dulu itu, jadi saya kawin dengan mas Jono dalam keadaan saya mengandung putera Kelana. Saya katakan putera dari Kelana. Nama puteranya itu kuberi nama Kelam. Betapa kejam pembalasan Tuhan kepada saya. Benar apa yang saya sudah katakan dan tuliskan dalam suratku dulu, pembalasan lebih kejam dari perbuatan, sebagaimana saya sudah singgung diatas. Saya dalam keadaan hamil meninggalkan engkau, masih dalam hamil anak yang sama saya ditanggalkan mas Jono.

Aku terpaksa, ya .... terpaksa dan dipasakan keadaan membawah Kelam lahir kedunia tampa disertai ayah. Malah anak tampa ayah. Jadi Kelam tidak mengenal ayahnya. Dalam usianya dua tahun lebih, sudah tahu mencari ayahnya, hal ini sering dilakukan. Ia menanyai aku kemana ayahku mak. Tetapi saya hanya berpura-pura mengatakan dan memang benar yang saya katakan, -ayahmu jauh.

Kukatakan padanya ayahmu satu saat akan datang menjenguk engkau dan mengambil engkau dan memawa engkau bersamanya. Ayahmu ganteng, cerdas, ramah dan suka sekali kepada anak, utamanya ia akan senang sekali kalau melihat Kelam kelak sesudah besar. Pasti ayahmu bangga melihat engkau ganteng, sebagaimana ayahmu ganteng. Rambu Kelam dan ayahnya sama hitam dan mengkilap berombak.’ Kelana menarik napas panjang.

‘Memang hidup ini penuh rahasia, gelanggang pertarungan, pentas sandiwara. Seribu satu kejadian yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan demikian jadinya, tetapi terjadi demikian.’ Kelana bicara sendiri dalam hati berbagai hal, hingga pesawat mendarat di pelabuhan udah baru –airpor Sukarno-Hatta, Cingkareng.

Kelana bermalam tiga malam di Jakarta mengurus visa negara tujuangnya. Dalam kurung waktu tiga hari digunakan tinggal menginap di hotel, tidak terasa olehnya hingga ia melanjutkan penerbangan ke luar negeri –Selamat tinggal tumpah darahku, selamat tinggal Tanah airku, selamat tinggal kampung halamanku, sampai jumpa dilain waktu. Berakhir disini*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun