Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perlunya Beragama secara "Maqasidi"

9 November 2018   17:35 Diperbarui: 9 November 2018   18:50 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(arabwallpaper.com)

Disebut substansial, karena memang maslahah adalah sesuatu yang inheren dalam agama. Bahkan dalam agama sendiri ada adagium, kemasalahatan umum adalah tujuan utama diturunkannya syariat. Disebut prinsipil, karena kedudukan maslahah sebagai landasan dalam mendekati dan memproduksi nilai-nilai yang diambil dari teks wahyu. Kontekstual, karena dengan maslahah, agama bisa akomodatif dalam setiap ruang dan waktu.

Dalam kajian maqasid sendiri, interpretasi tentang maslahah ini berevolusi sesuai dengan zamannya. Pada era Nabi, maslahah belum dijadikan sebagai istilah teksnis, sekalipun demikian benih-benihnya sudah ditanamkan dan dijarkan oleh Nabi sendiri. Hal ini terekam dalam hadis Nabi: "Jangan kalian shalat ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah."

Para sahabat yang mendengar pernyataan Nabi ini berbeda pendapat. Satu bilang shalat ashar hanya boleh dilakukan di perkampungan Quraizhah, sekalipun waktunya sudah masuk. Yang lain bilang, tujuan hadis ini bukan seperti itu, melainkan kita harus bersegera dalam perjalanan, sehingga cepat sampai tujuan, kampung Quraizhah.

Akibatnya ada sahabat yang shalat sebelum kampung Quraizhah, dan ada yang tetap bersikukuh untuk melaksanakannya sesuai bunyi letterlek pernyataan Nabi. Ketika kejadian ini disampaikan, Nabi membenarkan kedua tindakan sahabatnya. Para pakar di kemudian hari, menjadikan hadis ini sebagai landasan normatif maqasid. Yang jadi patokan dan pegangan dalam sebuah teks adalah tujuannya.

Maslahah sebagai istilah teknis diperkirakan baru muncul pada abad kedua. Pada masa ini, maslahah diterjemahkan sebagai kemanfaatan. Kamanfatan adalah landasan para ulama, terkhusus para juris Islam dalam istinbatul ahkam.

Bahkan ada sebagian ulama menyatakan, dimana ada maslahah (baca: manfaat), maka di sana ada hukum. Maslahah dengan makna kemanfaatan ini bertahan sampai abad kedua belas hijrah --sebelumnya di tangan Imam Ghajali kemudian disempurnakan Imam Syatibi --terejawantah dalam al-Kuliyah al-Khamsah (prinsif umum), yang berisi:  hifz al-din (memelihara agama), hifz al-nafs (diri), hifz al-aql (nalar), hifz nasl/al-ird (keturunan/kehormatan), dan hifz al-mal (harta).

Di abad kontemporer, pemaknaan maslahah sama dengan kemanfatan, mendapat kritikan dari beberapa pakar. Abdullah Ahmed An-Naem mengkritik pemaknaan seperti itu dengan alasan adanya kemiripan dengan konsep utulitarianisme, di mana kemanfaatan yang lebih besar yang dijadikan sebagai patokan.

Penerjemahan seperti itu menurut pemikir asal Sudan ini, akan berakibat dengan tidak terakomodirnya pihak-pihak minoritas. Dengan kata lain, demi menyelamatkan 9 orang (karena itu dianggap kemaanfatan terbesart), maka mengabaikan 1 orang tidak apa-apa. Tentu pemaknaan seperti ini bermasalah.

Dengan alasan itu, An-Na'em kemudian menggeser maslahah yang berbasis manfaat menjadi masalah yang berbasis human rigt (hak insani). Jadi, menurutnya, maslahah harus diterjemahkan sebagai hak insani, bukan lagi manfaat. 

Jasser Auda juga melakukan hal yang sama. Menurutnya corak maqasid klasik masih berkutat dalam wilayah protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan). Akibatnya ruang lingkupnya sangat sempit, sehingga terkesan kaku, hierarkis, mikro, dan belum bisa masuk dalam skala makro. Untuk itu, Auda menggeser maqasid menuju paradigma development (pembangunan) dan human right (hak-hak manusia).

Semua pemaknaan itu tentu bisa dipakai dalam konteks maqasid. Dengan mempertimbangkan kemaslahatan, manfaat, pembangunan, dan hak insani, maka beragama secara maqasidi, akan menghatarkan pemeluknya dalam setiap era, ruang dan waktu selalu kontekstual. Sehingga konotasi negatif, bahwa Islam itu kaku, kolot, suka teror, dan tidak bisa berdialog dengan zamannya dengan sendirinya akan hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun