Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perlunya Beragama secara "Maqasidi"

9 November 2018   17:35 Diperbarui: 9 November 2018   18:50 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(arabwallpaper.com)

Agama selalu terkait dengan teks wahyu yang dijadikan para pemeluknya sebagai pedoman. Al-Quran sendiri sejak dini sudah mendeklarasikan dirinya sebagai hudan, petuntuk.

Tapi bagaimana jadinya jika teks-teks wahyu itu dimaknai secara literal, tanpa mempertimbangkan konteks, ruang, waktu, terlebih-lebih tujuan (maqasid) dari teks itu sendiri. Penggunaan teks  wahyu apa adanya akhir-akhir ini sering digunakan oleh pemuka dan pemeluk agama, baik di mimbar-mimbar tempat ibadah, di stasiun televisi, terlebih-lebih di media sosial.

Pemaknaan seperti ini mengakibatkan agama tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk, justru akan membelenggu dan mengekang hidup para pemeluknya. Bahkan tidak bisa dimungkiri agama bisa jadi --meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla -- tak ubahnya seperti "museum mati."  Bagaimana agar agama menjadi pembebas sekaligus pedoman di setiap waktu? Di sinilah urgensi beragama secara maqasidi.

Maqasid secara harfiah memiliki makna: tujuan, rahasia, maksud, prinsip, ending, telos (Auda, 2007). Dengan demikian yang dijadikan pijakan dalam beragama adalah tujuan, maksud, dan rahasia di balik sebuah teks wahyu, bukan teks itu sendiri. Berpegang kepada maqasid merupakan jalan terbaik untuk menanggulangi keterbatasan teks dalam menghadapi  realitas hidup manusia yang terus bergerak dengan cepat.

Jasser Auda dalam bukunya Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2007: 02) menyatakan, mengapa Islam diidentikan dengan kekerasan? mengapa hukum Islam sering dijadikan sebagai dalih melakukan aksi-aksi teror?

Menurutnya hal ini terjadi tidak lain adalah karena banyak pihak-pihak tertentu yang hanya berpegang kepada zhahir teks wahyu, yang nota-benenya diturunkan empat abad yang lalu, yang sudah barang tertentu mempunyai konteks, realitas, dan semangat yang berbeda jauh dengan abad kontemporer.

Dalam konteks ini kemudian, Auda menyerukan agar menjadikan maqasid syariah sebagai falsafah dalam milihat teks secara khusus, agama secara umum.

Kasus "Minum Kencing Onta" sebagai obat yang dilakukan oleh salah satu tokoh agama, yang mendasarkan seruannya kepada hadis Nabi dan mengajak muslim untuk ikut mencoba yang terjadi di awal tahun ini merupakan contoh beragama yang tidak mempertimbangkan maqasid. Sontak saja jagad Indonesia jadi heboh, dan bully-an, caci-maki dan umpatan kepada sang tokoh itu pun tidak terelakkan lagi.

Pemahaman itu terjadi tidak lain disebabkan absennya pertimbangan masalah (nilai positif) dalam memaknai teks hadis. Dan sang ustaz tidak mempertimbangkan bagaimana mungkin teknik pengobatan empat belas abad yang lalu masih relevan di zaman sekarang, yang sistem pengobatan dan kesehatannya sudah sangat maju.

Maslahah Sebagai Inti Maqasid

Ada sebuah ilustrasi yang mudah dipahami, bahwa din (agama) jika diperas berisi syariah. Syariat jika diperas berisi maqasid. Maqasid jika diperas lagi berisi maslahah. Maslahah adalah inti paling dalam dari agama.  Dengan demikian, beragama secara maqasidi adalah beragama secara substansial, prinsipil, dan kontekstual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun