Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resolusi Jihad 2020

4 Desember 2020   21:59 Diperbarui: 4 Desember 2020   22:01 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Mulai 21 Oktober 2020, kata kunci "Hari Santri 2020" menjadi trending topik nomor wahid dimesin pencarian google dengan 100 ribu lebih penulusuran. Ini tak lepas dari hari yang sangat istimewa bagi santri se-Indonesia bahwa hari ini (Kamis, 22 Oktober 2020) merupakan Hari Santri Nasional yang kali ini "Santri Sehat Indonesia Kuat". Tema tersebut tidak terlepas dari kondisi dunia termasuk Indonesia saat ini yang tengah menghadapi pandemi covid-19.

            Peringatan tersebut menjadi hal penting karena bertujuan untuk mengingatkan masyarakat tentang resolusi jihad 22 Oktober 1945 oleh KH Hasyim Asyari. Resolusi jihad itu berisi tentang kewajiban umat Islam untuk memerangi penjajah dan berada dalam keadaan mati syahid bagi setiap orang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah. Fatwa itulah yang menggerakkan rakyat untuk melawan kolonial yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 yang hingga hari ini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

            Hari Santri Nasional menuai pro dan kontra ditengah-tengah publik, yakni sejak ditetapkannya Hari Santri Nasional melalui Kepres No 22 Tahun 2015 yang ditandatangani pada 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Ada yang menilai bahwa Hari Santri akan menguatkan kaum abangan dan ada juga yang berpandangan bahwa resolusi jihad hanya relevan dengan kelompok tertentu, yang pada intinya pandangan tersebut menganggap Hari Santri dianggap tidak mewakili seluruh elemen masyarakat. Kalau kita menilai pandangan yang pertama rupanya mereka terpengaruh oleh klasifikasi masyarakat yang dibuat oleh Clifford Geertz bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga golongan yaitu Santri, Priyai dan Priyai, sedangkan pandangan yang kedua mengklasifikasi masyarakat lebih detail yaitu secara keormasan.

            Melihat pandangan pro-kontra tersebut dibuatlah definisi santri secara luas sebagai bentuk komprominya. Kamaruddin Amin dalam opininya di harian Kompas 22 Oktober 2015 mendefinisikan santri adalah mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat la ilaha illallah. Intinya, santri adalah mereka yang berkomitmen keislaman dan keindonesian. Secara keseluruhan definisi itu tepat dan memang seperti itulah sikap santri, namun akan mengaburkan makna santri yang sesungguhnya karena komitmen keislaman dan keindonesiaan merupakan sikap umum bagi siapa pun yang mengaku dirinya beragama Islam dan berkewarga negaraan Indonesia.

            Setidaknya ada pandangan mengenai definisi santri yang bisa dijadikan acuan. Pertama, sastri yang berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Santri berarti menjadi tahu agama melalui kitab-kitab yang bertulisan dan berbahasa Arab yang umumnya Arab "gundul" (tanpa harkat) atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, cantrik yang berasala dari bahasa jawa yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seseorang guru/kiyai kemana guru itu pergi menetap. Tentunya tujuan seorang santri mengikuti seorang guru yaitu untuk mempelajari suatu keahlian. Misalnya keahlian dibidang fiqih, tasawuf, tauhid, nahwu, dan lain sebagainya. Dari definisi tersebut jelas membedakan antara orang Islam yang santri dan yang bukan santri.

            Dari definisi itu pula kita dapat melihat keberadaan pondok pesantren sebagai tempat menetap dan tempat belajar santri merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Pondok pesantren ada di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan jauh sebelum negara-negara kolonial menjajah Indonesia. Jadi, secara historis pondok pesantren tidak hanya bermakna keislaman tetapi juga merupakan keaslian Indonesia (Indigenous). Jika saja tidak ada penjajahan, mungkin sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur pendidikan yang ditempuh oleh pondok pesantren dan kita tidak akan mengenal yang namanya UI, UGM, IPB, ITB dan semacamnya, tetapi mungkin bernama "universitas" Banyuanyar, Gontor, Krapyak, Tebuireng dan sebagainya. Pengandaian ini dilihat setelah membandingkan dengan pendidikan yang ada di Barat dimana cikal-bakal pendidikannya berorienstasi keagamaan.

            Selain tempat pendidikan, pondok pesantren berkedudukan sebagai "trustee" masyarakat santri. Dimana santri perlu bimbingan kultural pesantren, khususnya mengenai agama Islam. Selain itu, pesantren berperan mendefinisikan situasi umat Islam. Dengan demikian, lahirnya resolusi jihad yang difatwakan oleh KH. Hasyim Asyari merupakan bimbingan sekaligus peran pondok pesantren kepada umat Islam dan khsusunya para santri. Hari ini kita tidak sedang menghadapi penjajah tetapi pandemi covid-19, maka sejatinya resolusi jihad kali ini adalah "perang" melawan virus korona dengan cara memakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan sebagainya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun