Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru dan Politik Identitas

4 Desember 2020   20:40 Diperbarui: 4 Desember 2020   21:08 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai hari ini politik identitas masih menjadi "senjata" paling ampuh untuk mengalahkan lawan politiknya. seolah-olah seperti iklan minuman yang sudah maklum kita ketahui "apapun kontestasi politiknya, senjatanya politik identitas".

Praktik politik identitas sebagai wujud turunannya berupa hoaks, ujaran kebencian dan kampanye hitam. Atribut-atribut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan kualitas calon pemimpin. Namun, politik identitas mudah dipakai untuk mengaburkan objektivitas pemilih. Pengaburan objektivitas tersebut tentu dengan menggunakan berita hoaks, ujaran kebencian dan kampanye hitam sebagai mediumnya.

Politik identitas sekarang tidak hanya digunakan dalam kontestasi politik praktis baik tingkat daerah maupun nasional. Tapi, sudah menyasar dalam kontestasi pemilihan ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). 

Terbukti akhir-akhir ini telah terjadi politik identitas di SMAN 58 Jakarta yang jelas-jelas sekolah tersebut milik negara dan siapa pun boleh berada di dalamnya baik itu sebagai kepala sekolah, guru, siswa, ketua OSIS, satpam hingga tukang kebun tanpa memandang apa agamanya, sukunya, dari mana dia berasal dan identitas-identitas lainnya. 

Sungguh ironi bila dunia pendidikan terjadi politik identitas. Ini bisa membuat konflik dilingkungan sekolah dan tentu akan berimpak pada masa depan bangsa karena sejatinya dunia pendidikan menyiapkan generasi berikutnya yang lebih baik.

Kasus itu berawal dari pesan seorang guru di grup WhatsApp "Rohis 58". Dimana guru tersebut meminta kepada siswanya agar memilih calon ketua OSIS yang seakidah (muslim) karena yang lainnya tidak seakidah (non-muslim). Mungkin itu hanya satu dari sekian banyak contoh kasus benih politik identitas yang mencuat ke publik. Jika demikian, maka butuh penanganan yang tepat agar benih politik identitas terutama di dunia pendidikan tidak tumbuh subur.

Kabar terakhir, kasus itu berujung pada dilaporkannya guru tersebut kepada pihak yang berwajib. Ini malah memperumit permasalahan. Tidak ada gunanya melaporkan guru tersebut. Guru tetaplah guru. Mungkin kesalahan tersebut cuma satu diantara banyak kebaikan yang dilalukannya. Tetapi, yang diperlukan adalah pemahaman wawasan kebangsaan terutama pemahaman Pancasila secara utuh. Ini tidak hanya berlaku pada setiap guru tetapi seluruhnya termasuk siswa serta semuanya harus bertanggung jawab terutama pemerintah selaku penyelenggara pendidikan.

Siswa adalah generasi masa depan bangsa. Sebagai generasi muda saat ini, maka sepatutnya siswa dididik dengan baik. Kita sudah mengetahui bahwa generasi muda akan menggantikan generasi tua. Itu sunnatullah atau hukum alam. Baik dan buruknya bangsa di masa depan ditentukan oleh generasi muda saat ini. Jika generasi muda saat ini dididik dengan baik, maka baik pula bangsa ini di masa depan, pun sebaliknya.

Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Sistem tersebut bukan sesuatu yang sekali jadi untuk selamanya. Usaha demokratisasi terus diusahakan sesuai dengan zamannya. Indonesia hari ini merupakan perkembangan lanjutan dari masa lalunya, dan Indonesia masa depan adalah kelanjutan dari apa-apa yang terjadi pada hari ini. Dengan demikian, yang akan menjalankan proses kehidupan demokrasi di masa depan adalah pemuda terutama siswa hari ini.

Praktik demokrasi ditengah masyarakat yang majemuk selalu berhadapan dengan risiko politik identitas. Sejumlah analisis politik menggaris bawahi bahwa titik awal menguatnya fenomena politik identitas berbasis keagamaan adalah pasca tersebarnya pidato Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu. Bahkan, tidak hanya berbasis keagamaan tetapi juga etnisitas, dimana Ahok bukan sekedar beragama Kristen tetapi juga beretnis Tionghoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun