Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunisme, New Normal, dan Harapan

30 Juli 2020   15:39 Diperbarui: 30 Juli 2020   15:39 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://yakusa.id/komunisme-new-normal-dan-harapan/

Kapan pandemi virus korona akan tamat? Pertanyaan itu selalu menghantui pikiran kita. Dalam kondisi harap-harap cemas kita hanya bisa memohon kepada Tuhan yang Maha menyembuhkan segala penyakit agar wabah yang membuat manusia sengsara ini segera berakhir. Ya, harapan. Hanya harapan modal hidup kita di dunia yang fana ini, sebagaimana pepatah Arab mengatakan: "betapa sempitnya dunia ini kalau tidak karena harapan". Itulah optimisme.

Dengan adanya wabah ini, kita rindu dengan kenormalan hidup layaknya sebelum korona menyerang penghuni bumi. Namun, mustahil kembali normal karena sejatinya virus itu masih hidup berdampingan dengan kita.

Per hari ini (Jumat, 03/07/2020) data kasus Covid-19 yang dilansir situs resmi covid19.go.id mencapai 60.695 orang, pasien sembuh 27.568 sedangkan 3.036 orang meninggal. Dengan segala keterpaksaan hidup terutama beban ekonomi mengharuskan kita beradaptasi dengan sebuah era yang kita sebut kenormalan baru atau yang lebih populer dengan sebutan "new normal". Ibarat mengendarai sepeda, kalau tidak mengayuh maka sepeda itu akan berhenti dan akhirnya tumbang. Lagi-lagi dengan kondisi ketrpakasaan, kita harus mengayuh sepeda walau tidak terlalu kencang agar sepeda itu tetap berjalan.

Sejarah terus berputar. Beragam wabah mematikan dan vaksin, obat dan penanganannya telah berlalu. Virus tersebut diantanya adalah pes, flu spanyol, black death, ebola, sars dan lain sebagainya. Sebagai binatang yang berakal, sudahkan manusia telah mengambil pelajaran dari semua kejadian itu?

Dimasa pandemi ini, banyak para pakar telah menelurkan gagasannya dalam menghadapi korona. Diantaranya adalah Ethan Siegel menuliskan sebuah artikel yang terbit di Forbes.com pada 7 April 2020, berjudul 'The 3 Ways Science Will Get Us Through The COVID-19 Pandemic'. Tiga cara yang ditawarkan oleh ahli antrofisika tersebut, pertama, Perbatasan Modern. Merupakan cara untuk melewati pandemi korona. Alih-alih mencari vaksin yang tepat, kita harus tinggal dirumah (stay at home), mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan pensanitasi tangan (hand sanitizer), menjaga jarak fisik (physical distancing), memakai masker dan sebagainya.

 Itu semua merupakan kemajuan sains yang datang sebelumnya dan mustahil rasanya sains akan maju kalau tidak didorong oleh cara yang kedua, yaitu rasa ingin tahu. Dokter tidak mungkin memberikan vaksin atau obat serta penanganannya tanpa mendapatkan informasi dari para ahli virologi, ekologi penyakit, biofisika dan ilmuwan lainnya yang terlibat dalam proses riset yang didorong oleh rasa ingin tahu. Pun demikian bagi pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan.

Ketiga, Sains Dasar. Bayangkan para pakar sedang menyingkap struktur molekuler dari patogen yang menular kalau tidak karena pengetahuan atom sebagai dasar. Tiga cara itu merupakan investasi manusia hari ini dimasa depan.

Dari semua ahli yang disebutkan diatas, ahli tinggalah sekedar ahli. 'Didalam kabut korona, tidak ada ahli' itulah judul artikel yang ditulis Ross Douthat di The New York Times, 7 April 2020. Di era digital saat ini, banyak masyarakat kehilangan pandangan akibat kabut virus korona, informasi hoaks bertebaran dimana-mana dengan gampangnya mereka mempercayainya lalu menyebarkannya, sedangkan informasi yang benar diabaikan. Itulah drama pertarungan antara benar dan salah. Disisi lain para ahli dikepung oleh buzzer, kaum populis, dan influencer bayaran, dr. Reisa Broto Asmoro sebagai jubir covid-19 pun tak lepas dari kepungan. Para ahli harus merebut kepercayaan publik, dengan begitu kita bisa menerobos kegelapan.

Virus korona tidak hanya menghilangkan kepercayaan publik terhadap para ahli. Pada 21 April 2020, Santiago Zabala berpendapat dalam sebuah artikelnya di Aljazeera bahwa virus korona juga menyoroti inkompetensi dan lemahnya para elit dalam hal kepemimpinan memerintah, tak terkecuali Indonesia. 

Ia manamakan pemimpin tersebut dengan sebutan "penguasa populis" yang perkataannya - sebelum korona benar-benar mewabah pada Negara yang dipimpinnya - hanya dipenuhi dengan retorika kosong dan penuh kebencian. Sebelum hingga mewabahnya korona di Indonesia, LP3ES mencatat bahwa ada sekitar 37 pernyataan blunder yang diucapkan oleh pejabat dari mulai Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menko Maritim, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, hingga Dirjen Perhubungan. Zabala memprediksi pandemi ini mungkin akan membawa kehancuran populisme diseluruh dunia.

Komunisme global merupakan salah satu cara yang ditawarkan oleh seorang penulis Pandemic! Covid-19 Shakes The World bernama Slavoj iek. Penganut Marxisme ini terlebih dahulu memberikan sebuah pilihan antara logika paling brutal survival of the fittest (seleksi alam) atau komunisme baru dengan koordinasi dan kolaborasi global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun